Papua dalam Realitas
Tanah Papua, semakin hari semakin menguras tenaga dan emosi untuk diperbincangkan, diperdebatkan, dituliskan, diperjuangkan, bahkan ‘dinasionalismekan’. Tanah paling timur Indonesia ini memiliki banyak cerita yang tidak saja bergema dalam skala nasional tapi juga mancanegara. Ibanya, cerita-cerita yang kemudian mampir ke telinga lebih banyak bernada kesakitan dan kepiluan daripada keadilan dan kemakmuran. Cerita-cerita sakit dan pilu ini menjalar sejak tahun 1960an hingga demokrasi di Indonesia genap berusia 15 tahun .
Tanah Papua selalu lekat dengan dua isu besar, yakni kekayaan alam berlimbah dan ‘keterbelakangan’ kebudayaan. Dua isu ini kemudian merebak melebar ke berbagai persoalan, seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia; keterlibatan negara –baik sebagai pelaku (militeristik) maupun pembiaran- atas terbunuhnya masyarakat lokal; dampak buruk pada lingkungan (polusi air dan kerusakan hutan), budaya perusahaan tambang yang hanya berorientasi keuntungan sepihak; maraknya misi ‘memperadabkan’ orang Papua; ‘genosida’ atas etnisitas Papua (sengketa pemekaran wilayah, perang politik, kekurangan gizi, dan merajalelanya HIV/AIDS) ; serta menguatnya budaya maskulinitas. Sebagai tanah pertambangan, benarkah realitas pahit menjadi keniscayaan?
Mungkin, tidak banyak penulis sastra tanah air (di luar etnis Papua) menggembleng tenaga dan pikiran mereka guna berkisah akan tanah dan orang Papua. Karena yang dibutuhkan tidak hanya arsip-arsip sejarah dan pengakuan-pengakuan. Tidak sebatas angka-angka dan deretan gambar. Jauh lebih besar dari itu ialah keberanian. Keberanian berteriak dalam menulis. Media massa, laporan tahunan lembaga non pemerintah, film-film pendek dokumenter, lirik-lirik lagu perjuangan, pengakuan-pengakuan teman kenalan dari Papua, semua berujar lirih dengan nada serupa: Kapan berakhirnya penjajahan terhadap tanah dan bangsa Papua oleh negara sendiri?
Papua dalam Fiksi
Satu dari beberapa karya sastra yang berkisah tentang tanah dan bangsa Papua adalah novel Tanah Tabu . Novel karangan Anindita S. Thayf ini bercerita tentang perjuangan mama-mama Papua membebaskan diri dan generasi mereka dari penindasan perusahaan tambang, ancaman kerusakan lingkungan, tekanan budaya maskulinitas, totaliter militeristik, serta stigma-stigma negatif atas suku dan etnisitas mereka di tanah Papua. Tokoh utama novel ini ialah Mama Anabel, akrab disapa Mabel. Mabel, seorang perempuan lanjut usia yang gencar menyuarakan penolakan atas perusahaan tambang dan mengkritisi putra Papua yang menjadi kaki tangan dari perusahaan tersebut.
Bagi Mabel, kehadiran perusahaan tambang tidak hanya merenggut hasil bumi tanah kelahirannya, tapi juga membuat banyak generasi Papua, khususnya laki-laki, menjadi buta karena uang dan kehidupan ‘modern’ yang dibawa oleh perusahaan tersebut. ‘Kemodernan’ yang diperkenalkan oleh orang-orang dari perusahaan ini mengakibatkan laki-laki dan pemuda Papua hilang arah. Mereka lebih memilih menghabiskan sebulan gaji dengan minum-minuman keras dan mengejar paha-paha putih (prostitusi). Sementara istri dan anak-anak di rumah, mereka biarkan kelaparan dan tak menyentuh bangku sekolah. Sebagai gantinya, para perempuan, mama-mama inilah yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga dengan pendapatan seadanya.
Inilah sumber kemarahan Mabel terhadap perusahaan tambang dan atas kebodohan laki-laki Papua. Mereka lebih memilih ‘kemodernan’ yang ditawarkan tanpa tahu apa yang akan terjadi pada diri dan tanah kelahiran mereka di masa depan. Sementara, pihak perusahaan tambang bersorak di atas semakin melaratnya orang-orang Papua. Mereka dimiskinkan, tapi mereka tak paham. Mereka diperbodohkan, tapi mereka tak sadar. Mereka dijajah, tapi mereka tak merasa. Muara dari semua kolonialisasi ini ialah perempuan yang menanggungkan. Anak-anak kelaparan. Anak-anak selalu dalam isak tangis. Anak-anak tidak mengenal pendidikan. Anak-anak tumbuh hanya menunggu untuk dilamar atau bekerja sebagai buruh kasar. Kemudian mati.
Anindita S. Thayf menghadirkan Mabel untuk menghentikan semua kolonialisasi itu. Tidak mudah memang bagi Mabel untuk menyadarkan masyarakatnya bahwa ancaman paling besar dari perusahaan tambang dan negara sedang mengancam tanah kelahiran mereka. Melalui Pum (anjing tua), Kwee (babi kecil), dan Aku (Leksi; gadis kecil, cucu Mabel), penulis memperkenalkan Tanah Tabu dan sepak terjang Mabel berjuang membela tanah dan perempuan Papua demi generasi mendatang dari jarahan demi jarahan perusahaan tambang dan negara di atas tanah yang mereka muliakan.
Novel Tanah Tabu merupakan pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2008. Novel setebal 240 halaman ini pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Mei 2009. Saya menggunakan novel ini sebagai objek kajian untuk mengikuti Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013. Ada beberapa elemen yang menarik untuk dikritisi dari novel Tanah Tabu ini dengan berbagai perspektif atau pendekatan.
Tanah Tabu I: Sastra dan Penelanjangan atas Kulit Putih
Anindita S. Thayf menulis subbab “Hitam dan Putih” dalam novelnya (Thayf, 2009: 106). Subbab ini berisi puja-puji -sekaligus cibiran- kepada tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine –hantu berkulit pucat dan berambut kuning- keluarga dari Belanda yang ‘memperadabkan’ Mabel dengan memberi kehidupan layak; pakaian, makanan, dan pendidikan. Tak ketinggalan juga memperkenalkan garam, tembakau, cermin, pisau, dan uang ot (uang berbentuk kulit kerang) kepada ibu dan ayah Mabel. Jauh lebih ‘humanis’, pendatang dari Belanda ini untuk pertama kali memperkenalkan apa itu cinta dan kasih sayang kepada Suku Dani di Lembah Baliem, pedalaman tanah Papua. “Karena di mata Sang Pencipta kita semua sama. Bersaudara. Berkeluarga. Yang harus saling mencintai dan mengasihi sebagai sesama manusia.” (Thayf, 2009: 106). Tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine dapat dibaca sebagai ‘misionaris’ yang tidak hanya ‘memperadabkan’ dari sisi fisik dan pengetahuan tapi juga memperkenalkan ‘Sang Pencipta’ versi mereka kepada Suku Dani yang menganut animisme dan dinamisme. Pada konteks ini, ‘Sang Pencipta’ menjadi tuhan bersama, sekaligus tuhan yang baru bagi Mabel dan keluarganya. Pada tataran lebih lanjut, karena Tuan Piet dan Nyonya Hermine sudah ‘berbaik hati’, bukan tidak mungkin kepercayaan kepada arwah nenek moyang dan bebatuan terkikis sudah –meski hanya untuk Mabel- dan digantikan oleh kepercayaan kepada ‘Sang Pencipta’. Inilah kemudian menjadi cikal bakal bahwa animisme dan dinamisme itu ‘tribal’, ‘bodoh’, ‘tidak beradab’, dan ‘berbahaya’.
Edward W. Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme –bagaimana Belanda/Barat melihat Papua/Timur; kekuasaan politis meliputi pembentukan kolonialisme dan imperialisme; kekuasaan intelektual meliputi mendidik orang Papua/Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain; kekuasaan kultural meliputi kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai; dan kekuasaan moral meliputi apa yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’ dilakukan oleh orang Papua/Timur . Empat model kekuasaan ini berjalin berkelindan dalam Tanah Tabu dan kehidupan Mabel. Beroperasinya empat kekuasaan ini dimulai sejak Mabel dan sukunya berkenalan dengan orang Belanda. Orang Belanda menjadikan Papua –melalui Mabel- sebagai metafora untuk dipertontonkan kemudian dipaksa untuk membenarkan skenario itu, baik kepada sesama bangsa Belanda maupun kepada orang Papua. Praktik-praktik cengkeraman kekuasaan ini berlanjut bahkan diwariskan Mabel kepada Leksi, cucu perempuannya, "dengan memperkenalkan rasa keju, susu, dan roti sebatas hanya diangan-angan" (Thayf, 2009: 35). Ada romantisme ‘keber-adab-an’ yang pernah dilalui Mabel, kemudian terenggut oleh kerasnya kehidupan mereka. Romantisme-romantisme ini ikut serta mengukuhkan, memperpanjang kebertahanan pengaruh kekuasaan politis, intelektual, kultural, dan moral di tanah Papua. Adalah menjadi penyebab, bahwa Papua/Timur tidak memiliki ‘identitas’, tak punya ‘tanda’ kecuali berkulit sehitam malam dan berambut serimbun semak.
Meski demikian, tidak terburu-buru kemudian dibaca bahwa penulis novel ini tidak peka akan isu-isu poskolonial syndrome –dalam kondisi tertentu. Karena, seiring dengan untaian cerita dan perjalanan Mabel ke berbagai daerah serta kota, dengan gamblang Anindita menjungkirbalikkan konstruksi ‘misionaris’ kepada posisi ‘kelicikan’ orang Belanda –untuk tidak mengatakan Eropa bahkan Barat. “... Namun anehnya, ketika Mabel memberanikan diri meminta kepada Nyonya Hermine dan Tuan Piet untuk disekolahkan pula, mereka malah menolak.” (Thayf, 2009: 122). ‘Kesucian’ dan ‘ketinggian peradaban’ orang Belanda yang sebelumnya digadang-gadangkan ambruk seketika, justru disaat apa yang ditawarkan itu, disambut suka cita oleh Mabel. Setengah berbisik, Anindita ingin mengatakan, satu-satunya tujuan bangsa kolonial datang ke tanah Papua, ya untuk merampok. Tidak lain tidak bukan. Jika memang ada dari mereka yang berniat membantu –membantu serba tanggung- itu hanyalah supaya mereka dipandang lebih bermoral oleh para tetamu dari Belanda. Dari yang bertelanjang dada menjadi bergaun putih. Dari yang bau dekil hingga mengenal sabun. Malu kan, memperbantukan penduduk Papua, tapi ikut-ikutan berbahasa Papua. Bagaimanapun juga, lidah orang Papualah yang harus ‘disekolahkan’, bukan lidah orang Belanda! Sehingga, “... Ia (Mabel) takjub dengan nama barunya sendiri, Anabel, yang diberikan Nyonya Hermine dengan alasan nama lamanya, Waya, cukup sukar diucapkan lidah Belanda-nya.” (Thayf, 2009: 109).
Ketika Papua diambil alih, dalam banyak hal orang Papua sebagai pribumi harus menerima tempat dibawah. Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh, kemudian harus bersikap tunduk. Bahkan menurut Franz Fanon, dengan sengaja penjajah mengatakan bahwa pribumi tidak dapat merasakan etika; yang melambangkan tidak adanya nilai-nilai, tetapi juga peniadaan atas nilai-nilai . Penghancuran orang Papua yang dilakukan Belanda salah satunya dengan penghancuran watak orang Papua. Mereka dibuat heran dengan kebudayaan mereka sendiri, setelah betapa ‘hebat’ dan ‘agungnya’ kebudayaan orang Belanda. Pemaksaan budaya terhadap orang-orang Papua merupakan agenda utama dari perjalanan proses kolonilisme di tanah Papua. Ketertindasan politik dan budaya pun tak terelakkan. Politik diskriminasi yang dilakukan orang Belanda nyatanya memang berhasil mengeksploitasi orang Papua yang saat itu masih ‘terbelakang’. Meski demikian, kekritisan tokoh Mabel, pelan-pelan, membanting dominasi kultural dan sosial itu. Bahkan, Mabel lebih mempercayakan kehidupan mendatangnya berjalan lebih lancar bersama seekor anjing tua daripada bersama keluarga Belanda. Bagaimana tidak, bukan kepada keluarga Belanda itu saja Mabel ragu, bahkan kepada tuhan berkulit putih -yang gambarnya dipajang di ruang tamu- Mabel juga ragu. Anindita bermain-main dengan ras anak bangsa; hitam dan putih. Putih pembuka sekaligus penutup ‘peradaban’. Hitam penuh dengan kegamangan dan pertanyaan. Jika tak berlebihan, ini posisi yang cukup berani ditawarkan oleh penulis novel ini, serta menyandingkan ‘kemuliaan’ antara binatang dan kemanusiaan, yang justru dipilih hidup bersama ‘kemuliaan’ binatang. Pun sekaligus sebagai pembuka labirin perjuangan para perempuan, mama-mama Papua dalam kisah Tanah Tabu berikutnya.
Tanah Tabu II: Mama dan Jiwa yang Mendua
Budaya maskulinitas jauh sudah ada sejak zaman nenek moyang di tanah Papua. Hal ini seiring dengan luasnya tanah dan ladang orang Papua, dimana perempuan adalah penanggung jawab atas hasil pertanian, keberlangsungan kebutuhan keluarga, dan memastikan kenyamanan fisik dan emosional anak cucu. Sementara laki-laki harus siap dengan segala energi dan strategi untuk bertahan, membela suku, berburu, bekerja sebagai buruh, melindungi dari musuh dan binatang buas. Dua definisi gender ini tersebar dalam berbagai model laporan, fiksi, non fiksi, serta dalam perbincangan mengenai orang dan tanah Papua. “Seperti kewajiban setiap perempuan komen (sebutan untuk orang Papua asli) yang harus mengurus keluarga, rumah, dan kebun.” (Thayf, 2009: 19, 23, 33, 52, 61, 123). “Kuakui kalau laki-laki kelahiran tanahku adalah pemberani. Mereka tidak pernah gentar bertempur di medan perang dan berburu di hutan liar. Mereka adalah penakluk alam sejati.” (Thayf, 2009: 66, 99).
Banyak komunitas lokal di tanah Papua masih berakar dalam kebudayaan lisan, dengan kepercayaan mengenai gunung, lembah, dan pantai sebagai tubuh ibu. Sehingga, kekerasan terhadap bumi sebagai ibu, yang dilakukan oleh pertambangan raksasa dengan memangkas gunung, mengisi lembah, dan mengotori pantai sudah pasti menimbulkan kegelisahan yang mendalam, yang lebih dari sekadar gejala ekonomis . Tanah Tabu lebih dalam bercerita tentang bumi sebagai ibu sehingga kehancuran bumi adalah kehancuran generasi mendatang. Tapi, ironisnya justru hanya perempuanlah yang memperjuangkan. Sementara laki-laki, hanya samar-samar, bahkan tak tertuliskan. Seolah-olah, laki-laki larut, tak mampu mengendalikan dorongan biologis kepada ‘paha-paha putih’, kemudian tak peduli secuil pun akan tanah dan generasi Papua hari esok. Konstruksi bahwa laki-laki Papua itu ‘primitif’, ‘terbelakang’, ‘tidak bernurani’, dan ‘mengancam’ kehidupan perempuan –tidak hanya perempuan Papua, tapi juga perempuan pendatang- tentu juga sangat diksriminatif dan merugikan laki-laki. Tidak tanggung-tanggung, Anindita juga menggambarkan tokoh Karel, "bocah laki-laki teman Leksi, sebagai anak yang sok pamer dan suka menang sendiri" (Thayf, 2009: 198). Karel tidak lain adalah representasi dari kebejatan ayahnya, Pace Gerson yang gila kuasa dan ‘penjilat bokong’. Belum lagi penggambaran sosok laki-laki Papua mirip seperti raksasa yang selalu kelaparan dan sempoyongan. Ini bias etnik yang digambarkan Anindita dalam Tanah Tabu yang memang cukup ‘tabu’ dan totaliter.
“Untuk apa kau berharap ada seorang pace (bapak) kalau hanya tangan ketiganya saja yang bekerja. Sementara dua tangan lainnya yang kelihatan hanya digunakan untuk memegang botol Tomi-tomi (sejenis minuman beralkohol buatan sendiri) atau memukul perempuan. Laki-laki macam apa itu? Apakah kau mau mace (ibu) mu ini seperti ibunya Yosi itu? Hamil, tidak hamil pipinya sering bengkak sebelah. Sedangkan kaki temanmu, Yosi, sudah macam keladi busuk karena lebam sana-sini.” (Thayf, 2009: 46). Agaknya, bahkan penulis novel tidak bersimpati pada tokoh perempuan hamil dan anak kecil perempuan, karena tetap dijadikan sebagai korban kebejatan laki-laki. Dengan kata lain, posisi tokoh Mabel yang berpihak pada generasi mendatang justu berkebalikan dengan posisi Anindita sebagai penulis Tanah Tabu yang tega ‘mengaborsi’ kehamilan Mama Helda. “Selama mereka bercakap, kuperhatikan perut Mama Helda memang telah kempis. Tidak ada lagi calon adik keempat Yosi di sana. Mama Helda mengalami pendarahan hebat di tengah pelariannya. Kutebak pasti gara-gara tendangan suaminya malam itu. Orang-orang menemukan tubuhnya yang pingsan di tengah ladang, sebelum kemudian dibawa ke rumah sakit.” (Thayf, 2009: 185, 188).
Anindita dengan tokoh Mabelnya menguasai keseluruhan cerita tentang perjuangan perempuan lanjut usia untuk orang dan tanah Papua yang sedang dijajah. Dikuatkan dengan, mengutip pernyataan Kris Budiman –kritikus sastra dan juri Sayembara Novel DKJ 2008- ‘... juga Mabel yang menjadi gambaran seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika ala aktivis perempuan menengah-kota”, bahwa di balik ‘kegarangan’ Mabel terhadap laki-laki, diam-diam, justru Leksi, cucu yang diharapkan, menyimpan kerinduan dan angan-angan yang dalam terhadap sosok yang namanya Bapak. “Yosi tidak tahu, yang membuatku tertarik pada jalan besar itu adalah harapanku akan bertemu Bapak..., Aku hanya ingin melihat wajah Bapak untuk memastikan benarkah sosoknya semengerikan hantu sehingga namanya enggan disebut Mabel maupun Mace?..., Aku tidak tahu kalau itulah yang namanya rindu... Tanpa sadar kuraba mata dan hidungku bergantian. Benarkah sama? Sama apanya? Seketika itu pula aku merasakan ledakan keinginan untuk berlari menghampiri cermin di kamar dan menikmati kemiripan wajah kami –aku dan Bapak.” (Thayf, 2009: 27, 149).
Di balik serbuan ‘racun’ kebencian atas laki-laki yang ditularkan Mabel dan Mace kepada Leksi, justru dengan kekanak-kanakan Leksi, bocah perempuan ini mendambakan seorang pace dalam hari-harinya. Terlepas apakah Leksi sedang mengidap cinderella complex –gejala psikologis jatuh cinta anak perempuan pada laki-laki pertama yang dikenal dan dekat, biasanya kepada sosok bapak- Leksi adalah manifestasi dari perempuan Papua dengan budaya maskulinitasnya yang kental. Cukup jelas, betapa ‘naluri’ keperempuanannya mendambakan sosok laki-laki di tengah kehidupannya nanti seperti angan-angan anak perempuan Papua kebanyakan. “Aku lebih suka melihat Pace Arare memakai topi burung daripada topi hitam, karena membuatnya terlihat lebih gagah. Aku suka lelaki gagah. Suatu saat nanti aku akan menikah dengan seorang lelaki gagah. Namun bukan Pace Arare, tentu saja. Dia sudah tua.” (Thayf, 2009: 25).
Jika dicermati lebih lanjut, Mabel pun sebenarnya tak dapat menampik bahwa anak laki-lakinya yang kurang ajar itu tak mudah ia lupakan. Di lain waktu Mabel menyandingkan kepolosan dan kekritisan Leksi setara dengan kecerdasan anak laki-lakinya. “Aduh, Lisbeth! Anakmu sungguh cerdas! Benar-benar cerdas,... Dia mirip sekali dengan bapaknya. Ya, ya. Mirip sekali. Kau pasti sadar itu, bukan?” (Thayf, 2009: 20). Kenapa Mabel tidak menyandingkan kekritisan Leksi adalah turunan dari dirinya yang cukup berpendidikan dalam membesarkan Leksi? “Aku menaruh harapan besar kepada Leksi. Aku tahu dia mewarisi darahku. Darah pejuang.” (Thayf, 2009: 62). Tapi, justru kepada anak laki-lakinya yang durhaka? ‘Pengakuan’ atas laki-laki juga dituliskan oleh penulis dalam novel ini, bahwa narator Pum adalah seekor anjing laki-laki tua yang sangat setia.
Agaknya, begitu juga dengan narator Kwee, babi laki-laki sebaya Leksi yang sedang ditempa Pum untuk tidak pemalas dan lebih berani melindungi Leksi dan Mace kelak. Tentu saja dua narator hewan ini sudah mengalami ‘pembiasan-pembiasan’ untuk lebih adil dan sensitif ketika melihat relasi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di tanah Papua. Kehidupan tiga generasi tokoh perempuan dalam novel ini sejatinya ditopang oleh laki-laki –sekalipun itu hewan. Inilah model kalimat-kalimat feminis di dalam teks yang ditulis oleh penulis dan pengarang (sebagian) perempuan. Bahwa gejala phallocentric –dimana laki-laki sebagai pusat segala model- sebenarnya diidap oleh Mabel, mungkin juga oleh penulis novel sendiri. Monique Wittig (dalam Mills, 2005: 34) mengatakan, gejala phallocentric juga diikuti dengan pengakuan penulis atau pengarang –sadar atau tidak sadar- bahwa gender tidaklah terbagi dua, melainkan hanya satu yaitu feminin. Sementara gender maskulin bukanlah termasuk dalam kategori gender. Maskulin bukanlah maskulin, tapi umum . Inilah ambivalensi Anindita dengan keperempuanan tokoh-tokoh perempuannya; antara benci dan rindu kepada sosok bernama laki-laki. Sangat emotif memang.
Tanah Tabu III: Berpadunya Ideologi dalam Gugatan
Gugatan Anindita melalui tokoh Mabel terhadap dominasi laki-laki di tanah Papua jauh lebih kompleks adalah gugatan kepada perusahaan tambang dan negara. Konsep “bumi adalah ibu” sekiranya menjadi titik tolak kenapa Mabel rela berjuang berdarah-darah sendirian, tanpa didukung penuh oleh mama-mama kebanyakan. “Dari dulu aku jarang menangis, Sayang. Menangis hanya membuatku semakin lemah, dan aku tidak mau itu terjadi. Selain itu, aku juga kasihan dengan Tanah Ibu kalau kita terus-menerus menyiramnya dengan air mata kita. Air jadi asin. Tanaman tidak bisa tumbuh subur. Binatang di hutan berkurang. Langit pun ikut mendung. Nasib baik tidak akan datang kalau kita menangis terus.” (Thayf, 2009: 57-58). Membabat gunung (gunung Ertsberg dan Grasberg oleh perusahaan Freeport di Papua) sama saja dengan ‘membabat’ kelahiran demi kelahiran anak cucu mendatang. Sementara, bagi Mabel, gunung dan tanah Papua ini tidak saja untuk tidak diperjualbelikan, tapi juga keramat, tabu, dan patut dimuliakan. Melawan perusahaan tambang yang serakah adalah melawan masa depan agar tak bodoh dan miskin. Ideologi perlawanan inilah yang menjadi ‘khas’nya novel Tanah Tabu.
Alotnya kawin mawin perusahaan tambang dan negara –baik oleh aparat maupun para elit lokal- mengeruk bumi Papua, dalam waktu bersamaan juga meracuni orang Papua. “Kalau anjing setia kepada tuannya dan kucing kepada rumahnya, perusahaan di ujung jalan itu hanya setia kepada emas kita. Tidak peduli apakah tanah, air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!” (Thayf, 2009: 133-134, 140). Ungkapan kekesalan dan gugatan Mabel ini lebih kepada kemanusiaan orang Papua daripada sebatas pembelaan kekeramatan atas tanah mereka. Modernitas yang dibawa dan ditularkan oleh orang-orang perusahaan tambang kepada orang Papua adalah modernitas yang common sense (biasa dan sudah menjadi rahasia umum), sederhana, mudah terinstitusi dalam masyarakat, namun sulit diubah. Modernitas kapitalistik. Mabel tidak menginginkan modernitas yang demikian. Jauh lebih dari itu ialah modernitas yang berdasarkan pada pembelaan terhadap harkat kehidupan manusia. Bukan pembelaan atas Tuhan. Karena konsep Tuhan, bagi Mabel dan orang Papua sudah selesai dan tak perlu penggugatan –meskipun kadang dengan mudah dan senang hati mereka menanggalkan animisme dan dinamisme. Mabel juga tidak menggugat orang kaya baru di tanah kelahirannya, sebagai dampak dari banyaknya modal masuk ke tanah Papua. Mabel menggugat chaos (kekacauan) yang memakan korban jiwa, anak-anak Papua mati mengenaskan dan sia-sia, sebagai malapetaka berdirinya perusahaan tambang di sana. Mabel menggugat kebodohan dan kemiskinan yang timpang.
Ketegangan sosiopolitik dan kultural yang diperjuangkan tokoh Mabel terus berlanjut. Ketegangan ini menjadi-jadi ketika negara yang otoriter ambil alih mengamankan orang-orang Papua bersuara keras dan kritis. “... Orang-orang berseragam dan bersenjata di bahu yang berwajah galak, beberapa malah tampak seperti pengecut. Mereka datang ke rumah Anabel dengan ribut dan tanpa sopan santun sama sekali, sehingga di mataku rombongan itu lebih menyerupai segerombolan jagoan pasar daripada sekelompok orang-orang berpendidikan. Sungguh tidak tahu aturan!” (Thayf, 2009: 153, 154, 156, 157). Oligarki lama; militeristik, menjadi pengunci segala gugatan dan perlawanan di tanah Papua. Negara mengamankan orang Papua tidak dengan pendekatan humanity (kemanusiaan) tetapi secara militeristik, konotasinya sama dengan gencatan senjata untuk perang.
Sementara, yang dihadapi negara adalah mama-mama dan rakyat Papua sebagai kelompok subordinat; tidak saja subordinat secara kultural tapi juga secara kepentingan dan politis. Mereka bukanlah otak di balik pembuat onar. Mereka adalah korban dari pembuat onar, yang justru diperangi oleh negara sendiri dengan tidak manusiawi. “Hah! Akhirnya... Papua kehilangan lagi dua puluh orang yang berotak tumpul. Orang-orang pemberani yang bodoh karena dengan mudahnya diracuni hingga saling bunuh saudara sendiri dengan suka hati. Mati muda hanya gara-gara hal sepele. Kapan orang-orang itu pada sadar ee...” (Thayf, 2009: 144). Hinanya militeristik ialah tidak adanya kesempatan guna membela diri, dengan mudah korban dibuat merasa bersalah dan berdosa. Militeristik adalah teror nyata yang mematikan.
“... Anabel lebih terlihat seperti binatang buruan terluka yang bersiap mati demi kebebasannya.... Ia mencoba melepaskan diri dari tangan-tangan kekar yang mencengkeram daging dan kulitnya sambil melolong-lolong tak terima.... Sebuah tendangan di pinggul, tamparan di pipi, dan teriakan menyuruh diam yang sangat kerans... Ya Tuhan. Waktu itu, aku berharap lebih baik mati saja, dan kalaupun rohku masuk neraka, setidaknya siksaan di sana pastilah dijatuhkan-Nya kepadaku dengan adil; sesuai kesalahan yang telah kulakukan. Bukankah begitu yang tertulis di Kitab Suci? ” (Thayf, 2009: 155, 156). Potret militeristik ini terjadi di depan publik dengan menampar, menendang, menghimpit, menusuk bagian-bagian tubuh. Tubuh Mabel merupakan aparatus. Ia adalah sasaran utama untuk ditertibkan atau didisiplinkan agar jera dan berguna. Dengan penghukuman atas tubuh sebagai pendosa, proses pendisiplinan akan lebih mudah terwujud. Bagian tubuh, setelah disiksa, menjadi gambaran bahwa kejahatan telah terjadi dan Mabel sebagai tertuduh adalah bersalah. Penghukuman juga memerlukan ‘pengakuan’ dari Mabel sebagai ‘terdakwa’. “Kalian tahu, sejak pagi hingga malam hari, aku dipaksa menjawab rentetan pertanyaan aneh yang tidak kupahami apa hubungannya dengan diriku. Pertanyaan-pertanyaan mengerikan yang jika kuajwab ‘Tidak Tahu,’ atau, ‘Maksudnya apa?’ maka satu per satu siksaan akan susul-menyusul jatuh ke tubuhku.” (Thayf, 2009: 158). Karena, pengakuan merupakan bukti yang amat kuat untuk terdakwa, dan pengakuan merupakan kemenangan seluruh prosedur penyelidikan, karena melalui pengakuan ini terdakwa menyatakan diri bertanggungjawab atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dengan begitu terdakwa menghukum dirinya sendiri.
Penyiksaan sebagai penghukuman ini adalah ritual yudisial dan politik yang mempertontonkan bahwa kejahatan terjadi dan militeristik (sebagai penguasa) telah berusaha mengontrol. Ini model bagaimana negara dengan militeristik sebagai penguasanya ada, bekerja, dan menunjukkan ‘kebenaran’ versi mereka sebagai pelaksana kekuasaan . Penghukuman ini mencapai posisi puncaknya ketika dirasionalkan dan dibirokrasikan/diinstitusikan dalam berbagai bentuk. Dengan begitu, negara dengan militeristiknya, tidak hanya lebih mudah dalam mengontrol, tapi juga lebih mudah dalam memprediksikan siapa yang ‘benar’ dan siapa yang ‘salah’.
Pada negara fasis, militeristik bertanggung jawab besar atas pembangunan bangsa-negara. Di Indonesia, militeristik seolah-olah penentu utama kedaulatan dan keamanan. Proses pembangunan bangsa-negara (nation building) direpresentasikan dengan berbagai elemen dan material, sekurang-kurangnya melalui; lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, dan bahasa kebangsaan. Ancaman-ancaman yang terdeteksi dan terlihat secepat mungkin dibumihanguskan dari permukaan. Di tanah Papua dan dalam Tanah Tabu, konsep nation building ini juga menguat dan pelik. “... Orang-orang berseragam dan membawa senjata merampas noken (tas rajut khas Papua) terakhir dari tangan keriput Mabel. Lantas membuangnya ke tanah sambil menuduh Mabel telah membuat bendera musuh... Tapi itu noken, Anak, bukan bendera... Bohong! Ini yang berwarna biru dan putih. Bagian bendera musuh. Sebentar lagi kau pasti akan membuat gambar mataharinya.” (Thayf, 2009: 220). Nation building selalu dijaga, didefinisikan, direpresentasikan, diformasikan berulang-ulang, terus menerus tanpa henti, dari kepekaan yang semakin lama semakin khas ke arah satu kawasan geografis tertentu, Indonesia. Sehingga, hal-hal di luar definisi dari nation building dianggap ancaman, musuh, teror, pembangkang, dan harus dibunuh. Mabel dibunuh. Dalam sebuah negara-bangsa, keamanan selalu dijaga, dan pemberontakan selalu ‘dipelihara’. Karena dengan demikianlah ‘identitas-identitas’ dalam nation building itu terwujud dan menemukan bentuknya dalam lingkaran diskriminasi selanjutnya.
Sebagai sastra perlawanan, Tanah Tabu, tidak hanya bercerita banyak kepada pembaca tetapi juga meminta banyak keadilan kepada pembaca, penulis, negara, bahkan dunia. Remuknya tanah dan orang Papua tidak terselesaikan dengan mengecam, berdemo, berdialog, dan kerja sama. Tetapi juga dengan menyentuh lebih dalam sisi-sisi kemanusiaan orang-orang yang terlibat dalam penjajahan, pemiskinan, dan pembodohan di tanah Papua. Pengerukan semena-mena atas perut bumi di tanah Papua melahirkan banyak problematik -status sejarah dan politik, ingatan kekerasan dan penderitaan, diskriminasi pembangunan dan peminggiran harkat dan martabat para perempuan Papua, serta ‘gula-gula’ politik Otonomi Khusus dan pemekaran daerah. Perusahaan tambang di tanah Papua yang datang dari negara ‘maju’, menawarkan satu paket menarik yaitu memadukan material dari ekonomi pasar, kebebasan politik, dan budaya demokrasi liberal . Tetapi, sebagai pelaku utama kapitalis di tanah Papua, justru lupa akan konsep dan pemenuhan hak-hak asasi dan harkat kemanusiaan, dimana HAM adalah ‘anak kandung’ dari lahirnya kapitalisme –sebagai konsekuensi dari individualistik. Negara, dalam Tanah Tabu, tidak melaksanakan perannya sebagai pelaku politik modern yang mampu menjinakkan kekuasaan liar negara, mengarahkan kegiatan-kegiatannya ke arah tujuan-tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya, dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum yang adil.
Catatan penulisan
Posisi saya dalam tulisan ini mengkritik Tanah Tabu dari berbagai perspektif. Jika pada beberapa bagian tulisan terkesan saya, secara subjektif, bertransformasi seperti atau sebagai atau sebagian menjadi aktivis kemanusiaan ataupun aktivis gender, saya tak menyangkal. Benar memang, sebagian sumber tulisan ini bereferensi pada tulisan-tulisan aktivis dan peneliti dari tanah Papua. Dengan begitu, sekiranya para pembaca mahfum dengan posisi saya sebagai penulis dalam kritik sastra ini.
Selain itu, kritik atas novel ini bersifat matriks dan multidisiplin. Saya menyandingkan berbagai elemen sosial dalam satu cakupan subtema kritik. Sebagai contoh, etnisitas berelasi kuat dengan kelas sosial, budaya maskulinitas, dan taraf pendidikan, yang kemudian membentuk sejauh mana satu tokoh akan lebih mendominasi/menguasasi daripada tokoh lain. Hal ini mengingat betapa kompleks dan peliknya permasalahan yang disodorkan oleh novel ini, seperti pada realitas tanah Papua sendiri. Totalitas atau totalisasi kritik dalam tulisan ini hanya berlaku untuk Tanah Tabu dan kritik sastra ini. Tidak ada unsur penyerangan kepada salah satu pihak secara personal dalam kritik sastra ini, ‘murni’ hanya sebagai interpretasi dan tafsiran yang dibantu oleh beberapa perspektif. Terima kasih.
Tanah Papua, semakin hari semakin menguras tenaga dan emosi untuk diperbincangkan, diperdebatkan, dituliskan, diperjuangkan, bahkan ‘dinasionalismekan’. Tanah paling timur Indonesia ini memiliki banyak cerita yang tidak saja bergema dalam skala nasional tapi juga mancanegara. Ibanya, cerita-cerita yang kemudian mampir ke telinga lebih banyak bernada kesakitan dan kepiluan daripada keadilan dan kemakmuran. Cerita-cerita sakit dan pilu ini menjalar sejak tahun 1960an hingga demokrasi di Indonesia genap berusia 15 tahun .
Tanah Papua selalu lekat dengan dua isu besar, yakni kekayaan alam berlimbah dan ‘keterbelakangan’ kebudayaan. Dua isu ini kemudian merebak melebar ke berbagai persoalan, seperti pelanggaran hak-hak asasi manusia; keterlibatan negara –baik sebagai pelaku (militeristik) maupun pembiaran- atas terbunuhnya masyarakat lokal; dampak buruk pada lingkungan (polusi air dan kerusakan hutan), budaya perusahaan tambang yang hanya berorientasi keuntungan sepihak; maraknya misi ‘memperadabkan’ orang Papua; ‘genosida’ atas etnisitas Papua (sengketa pemekaran wilayah, perang politik, kekurangan gizi, dan merajalelanya HIV/AIDS) ; serta menguatnya budaya maskulinitas. Sebagai tanah pertambangan, benarkah realitas pahit menjadi keniscayaan?
Mungkin, tidak banyak penulis sastra tanah air (di luar etnis Papua) menggembleng tenaga dan pikiran mereka guna berkisah akan tanah dan orang Papua. Karena yang dibutuhkan tidak hanya arsip-arsip sejarah dan pengakuan-pengakuan. Tidak sebatas angka-angka dan deretan gambar. Jauh lebih besar dari itu ialah keberanian. Keberanian berteriak dalam menulis. Media massa, laporan tahunan lembaga non pemerintah, film-film pendek dokumenter, lirik-lirik lagu perjuangan, pengakuan-pengakuan teman kenalan dari Papua, semua berujar lirih dengan nada serupa: Kapan berakhirnya penjajahan terhadap tanah dan bangsa Papua oleh negara sendiri?
Papua dalam Fiksi
Satu dari beberapa karya sastra yang berkisah tentang tanah dan bangsa Papua adalah novel Tanah Tabu . Novel karangan Anindita S. Thayf ini bercerita tentang perjuangan mama-mama Papua membebaskan diri dan generasi mereka dari penindasan perusahaan tambang, ancaman kerusakan lingkungan, tekanan budaya maskulinitas, totaliter militeristik, serta stigma-stigma negatif atas suku dan etnisitas mereka di tanah Papua. Tokoh utama novel ini ialah Mama Anabel, akrab disapa Mabel. Mabel, seorang perempuan lanjut usia yang gencar menyuarakan penolakan atas perusahaan tambang dan mengkritisi putra Papua yang menjadi kaki tangan dari perusahaan tersebut.
Bagi Mabel, kehadiran perusahaan tambang tidak hanya merenggut hasil bumi tanah kelahirannya, tapi juga membuat banyak generasi Papua, khususnya laki-laki, menjadi buta karena uang dan kehidupan ‘modern’ yang dibawa oleh perusahaan tersebut. ‘Kemodernan’ yang diperkenalkan oleh orang-orang dari perusahaan ini mengakibatkan laki-laki dan pemuda Papua hilang arah. Mereka lebih memilih menghabiskan sebulan gaji dengan minum-minuman keras dan mengejar paha-paha putih (prostitusi). Sementara istri dan anak-anak di rumah, mereka biarkan kelaparan dan tak menyentuh bangku sekolah. Sebagai gantinya, para perempuan, mama-mama inilah yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga dengan pendapatan seadanya.
Inilah sumber kemarahan Mabel terhadap perusahaan tambang dan atas kebodohan laki-laki Papua. Mereka lebih memilih ‘kemodernan’ yang ditawarkan tanpa tahu apa yang akan terjadi pada diri dan tanah kelahiran mereka di masa depan. Sementara, pihak perusahaan tambang bersorak di atas semakin melaratnya orang-orang Papua. Mereka dimiskinkan, tapi mereka tak paham. Mereka diperbodohkan, tapi mereka tak sadar. Mereka dijajah, tapi mereka tak merasa. Muara dari semua kolonialisasi ini ialah perempuan yang menanggungkan. Anak-anak kelaparan. Anak-anak selalu dalam isak tangis. Anak-anak tidak mengenal pendidikan. Anak-anak tumbuh hanya menunggu untuk dilamar atau bekerja sebagai buruh kasar. Kemudian mati.
Anindita S. Thayf menghadirkan Mabel untuk menghentikan semua kolonialisasi itu. Tidak mudah memang bagi Mabel untuk menyadarkan masyarakatnya bahwa ancaman paling besar dari perusahaan tambang dan negara sedang mengancam tanah kelahiran mereka. Melalui Pum (anjing tua), Kwee (babi kecil), dan Aku (Leksi; gadis kecil, cucu Mabel), penulis memperkenalkan Tanah Tabu dan sepak terjang Mabel berjuang membela tanah dan perempuan Papua demi generasi mendatang dari jarahan demi jarahan perusahaan tambang dan negara di atas tanah yang mereka muliakan.
Novel Tanah Tabu merupakan pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2008. Novel setebal 240 halaman ini pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Mei 2009. Saya menggunakan novel ini sebagai objek kajian untuk mengikuti Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013. Ada beberapa elemen yang menarik untuk dikritisi dari novel Tanah Tabu ini dengan berbagai perspektif atau pendekatan.
Tanah Tabu I: Sastra dan Penelanjangan atas Kulit Putih
Anindita S. Thayf menulis subbab “Hitam dan Putih” dalam novelnya (Thayf, 2009: 106). Subbab ini berisi puja-puji -sekaligus cibiran- kepada tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine –hantu berkulit pucat dan berambut kuning- keluarga dari Belanda yang ‘memperadabkan’ Mabel dengan memberi kehidupan layak; pakaian, makanan, dan pendidikan. Tak ketinggalan juga memperkenalkan garam, tembakau, cermin, pisau, dan uang ot (uang berbentuk kulit kerang) kepada ibu dan ayah Mabel. Jauh lebih ‘humanis’, pendatang dari Belanda ini untuk pertama kali memperkenalkan apa itu cinta dan kasih sayang kepada Suku Dani di Lembah Baliem, pedalaman tanah Papua. “Karena di mata Sang Pencipta kita semua sama. Bersaudara. Berkeluarga. Yang harus saling mencintai dan mengasihi sebagai sesama manusia.” (Thayf, 2009: 106). Tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine dapat dibaca sebagai ‘misionaris’ yang tidak hanya ‘memperadabkan’ dari sisi fisik dan pengetahuan tapi juga memperkenalkan ‘Sang Pencipta’ versi mereka kepada Suku Dani yang menganut animisme dan dinamisme. Pada konteks ini, ‘Sang Pencipta’ menjadi tuhan bersama, sekaligus tuhan yang baru bagi Mabel dan keluarganya. Pada tataran lebih lanjut, karena Tuan Piet dan Nyonya Hermine sudah ‘berbaik hati’, bukan tidak mungkin kepercayaan kepada arwah nenek moyang dan bebatuan terkikis sudah –meski hanya untuk Mabel- dan digantikan oleh kepercayaan kepada ‘Sang Pencipta’. Inilah kemudian menjadi cikal bakal bahwa animisme dan dinamisme itu ‘tribal’, ‘bodoh’, ‘tidak beradab’, dan ‘berbahaya’.
Edward W. Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme –bagaimana Belanda/Barat melihat Papua/Timur; kekuasaan politis meliputi pembentukan kolonialisme dan imperialisme; kekuasaan intelektual meliputi mendidik orang Papua/Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain; kekuasaan kultural meliputi kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai; dan kekuasaan moral meliputi apa yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’ dilakukan oleh orang Papua/Timur . Empat model kekuasaan ini berjalin berkelindan dalam Tanah Tabu dan kehidupan Mabel. Beroperasinya empat kekuasaan ini dimulai sejak Mabel dan sukunya berkenalan dengan orang Belanda. Orang Belanda menjadikan Papua –melalui Mabel- sebagai metafora untuk dipertontonkan kemudian dipaksa untuk membenarkan skenario itu, baik kepada sesama bangsa Belanda maupun kepada orang Papua. Praktik-praktik cengkeraman kekuasaan ini berlanjut bahkan diwariskan Mabel kepada Leksi, cucu perempuannya, "dengan memperkenalkan rasa keju, susu, dan roti sebatas hanya diangan-angan" (Thayf, 2009: 35). Ada romantisme ‘keber-adab-an’ yang pernah dilalui Mabel, kemudian terenggut oleh kerasnya kehidupan mereka. Romantisme-romantisme ini ikut serta mengukuhkan, memperpanjang kebertahanan pengaruh kekuasaan politis, intelektual, kultural, dan moral di tanah Papua. Adalah menjadi penyebab, bahwa Papua/Timur tidak memiliki ‘identitas’, tak punya ‘tanda’ kecuali berkulit sehitam malam dan berambut serimbun semak.
Meski demikian, tidak terburu-buru kemudian dibaca bahwa penulis novel ini tidak peka akan isu-isu poskolonial syndrome –dalam kondisi tertentu. Karena, seiring dengan untaian cerita dan perjalanan Mabel ke berbagai daerah serta kota, dengan gamblang Anindita menjungkirbalikkan konstruksi ‘misionaris’ kepada posisi ‘kelicikan’ orang Belanda –untuk tidak mengatakan Eropa bahkan Barat. “... Namun anehnya, ketika Mabel memberanikan diri meminta kepada Nyonya Hermine dan Tuan Piet untuk disekolahkan pula, mereka malah menolak.” (Thayf, 2009: 122). ‘Kesucian’ dan ‘ketinggian peradaban’ orang Belanda yang sebelumnya digadang-gadangkan ambruk seketika, justru disaat apa yang ditawarkan itu, disambut suka cita oleh Mabel. Setengah berbisik, Anindita ingin mengatakan, satu-satunya tujuan bangsa kolonial datang ke tanah Papua, ya untuk merampok. Tidak lain tidak bukan. Jika memang ada dari mereka yang berniat membantu –membantu serba tanggung- itu hanyalah supaya mereka dipandang lebih bermoral oleh para tetamu dari Belanda. Dari yang bertelanjang dada menjadi bergaun putih. Dari yang bau dekil hingga mengenal sabun. Malu kan, memperbantukan penduduk Papua, tapi ikut-ikutan berbahasa Papua. Bagaimanapun juga, lidah orang Papualah yang harus ‘disekolahkan’, bukan lidah orang Belanda! Sehingga, “... Ia (Mabel) takjub dengan nama barunya sendiri, Anabel, yang diberikan Nyonya Hermine dengan alasan nama lamanya, Waya, cukup sukar diucapkan lidah Belanda-nya.” (Thayf, 2009: 109).
Ketika Papua diambil alih, dalam banyak hal orang Papua sebagai pribumi harus menerima tempat dibawah. Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh, kemudian harus bersikap tunduk. Bahkan menurut Franz Fanon, dengan sengaja penjajah mengatakan bahwa pribumi tidak dapat merasakan etika; yang melambangkan tidak adanya nilai-nilai, tetapi juga peniadaan atas nilai-nilai . Penghancuran orang Papua yang dilakukan Belanda salah satunya dengan penghancuran watak orang Papua. Mereka dibuat heran dengan kebudayaan mereka sendiri, setelah betapa ‘hebat’ dan ‘agungnya’ kebudayaan orang Belanda. Pemaksaan budaya terhadap orang-orang Papua merupakan agenda utama dari perjalanan proses kolonilisme di tanah Papua. Ketertindasan politik dan budaya pun tak terelakkan. Politik diskriminasi yang dilakukan orang Belanda nyatanya memang berhasil mengeksploitasi orang Papua yang saat itu masih ‘terbelakang’. Meski demikian, kekritisan tokoh Mabel, pelan-pelan, membanting dominasi kultural dan sosial itu. Bahkan, Mabel lebih mempercayakan kehidupan mendatangnya berjalan lebih lancar bersama seekor anjing tua daripada bersama keluarga Belanda. Bagaimana tidak, bukan kepada keluarga Belanda itu saja Mabel ragu, bahkan kepada tuhan berkulit putih -yang gambarnya dipajang di ruang tamu- Mabel juga ragu. Anindita bermain-main dengan ras anak bangsa; hitam dan putih. Putih pembuka sekaligus penutup ‘peradaban’. Hitam penuh dengan kegamangan dan pertanyaan. Jika tak berlebihan, ini posisi yang cukup berani ditawarkan oleh penulis novel ini, serta menyandingkan ‘kemuliaan’ antara binatang dan kemanusiaan, yang justru dipilih hidup bersama ‘kemuliaan’ binatang. Pun sekaligus sebagai pembuka labirin perjuangan para perempuan, mama-mama Papua dalam kisah Tanah Tabu berikutnya.
Tanah Tabu II: Mama dan Jiwa yang Mendua
Budaya maskulinitas jauh sudah ada sejak zaman nenek moyang di tanah Papua. Hal ini seiring dengan luasnya tanah dan ladang orang Papua, dimana perempuan adalah penanggung jawab atas hasil pertanian, keberlangsungan kebutuhan keluarga, dan memastikan kenyamanan fisik dan emosional anak cucu. Sementara laki-laki harus siap dengan segala energi dan strategi untuk bertahan, membela suku, berburu, bekerja sebagai buruh, melindungi dari musuh dan binatang buas. Dua definisi gender ini tersebar dalam berbagai model laporan, fiksi, non fiksi, serta dalam perbincangan mengenai orang dan tanah Papua. “Seperti kewajiban setiap perempuan komen (sebutan untuk orang Papua asli) yang harus mengurus keluarga, rumah, dan kebun.” (Thayf, 2009: 19, 23, 33, 52, 61, 123). “Kuakui kalau laki-laki kelahiran tanahku adalah pemberani. Mereka tidak pernah gentar bertempur di medan perang dan berburu di hutan liar. Mereka adalah penakluk alam sejati.” (Thayf, 2009: 66, 99).
Banyak komunitas lokal di tanah Papua masih berakar dalam kebudayaan lisan, dengan kepercayaan mengenai gunung, lembah, dan pantai sebagai tubuh ibu. Sehingga, kekerasan terhadap bumi sebagai ibu, yang dilakukan oleh pertambangan raksasa dengan memangkas gunung, mengisi lembah, dan mengotori pantai sudah pasti menimbulkan kegelisahan yang mendalam, yang lebih dari sekadar gejala ekonomis . Tanah Tabu lebih dalam bercerita tentang bumi sebagai ibu sehingga kehancuran bumi adalah kehancuran generasi mendatang. Tapi, ironisnya justru hanya perempuanlah yang memperjuangkan. Sementara laki-laki, hanya samar-samar, bahkan tak tertuliskan. Seolah-olah, laki-laki larut, tak mampu mengendalikan dorongan biologis kepada ‘paha-paha putih’, kemudian tak peduli secuil pun akan tanah dan generasi Papua hari esok. Konstruksi bahwa laki-laki Papua itu ‘primitif’, ‘terbelakang’, ‘tidak bernurani’, dan ‘mengancam’ kehidupan perempuan –tidak hanya perempuan Papua, tapi juga perempuan pendatang- tentu juga sangat diksriminatif dan merugikan laki-laki. Tidak tanggung-tanggung, Anindita juga menggambarkan tokoh Karel, "bocah laki-laki teman Leksi, sebagai anak yang sok pamer dan suka menang sendiri" (Thayf, 2009: 198). Karel tidak lain adalah representasi dari kebejatan ayahnya, Pace Gerson yang gila kuasa dan ‘penjilat bokong’. Belum lagi penggambaran sosok laki-laki Papua mirip seperti raksasa yang selalu kelaparan dan sempoyongan. Ini bias etnik yang digambarkan Anindita dalam Tanah Tabu yang memang cukup ‘tabu’ dan totaliter.
“Untuk apa kau berharap ada seorang pace (bapak) kalau hanya tangan ketiganya saja yang bekerja. Sementara dua tangan lainnya yang kelihatan hanya digunakan untuk memegang botol Tomi-tomi (sejenis minuman beralkohol buatan sendiri) atau memukul perempuan. Laki-laki macam apa itu? Apakah kau mau mace (ibu) mu ini seperti ibunya Yosi itu? Hamil, tidak hamil pipinya sering bengkak sebelah. Sedangkan kaki temanmu, Yosi, sudah macam keladi busuk karena lebam sana-sini.” (Thayf, 2009: 46). Agaknya, bahkan penulis novel tidak bersimpati pada tokoh perempuan hamil dan anak kecil perempuan, karena tetap dijadikan sebagai korban kebejatan laki-laki. Dengan kata lain, posisi tokoh Mabel yang berpihak pada generasi mendatang justu berkebalikan dengan posisi Anindita sebagai penulis Tanah Tabu yang tega ‘mengaborsi’ kehamilan Mama Helda. “Selama mereka bercakap, kuperhatikan perut Mama Helda memang telah kempis. Tidak ada lagi calon adik keempat Yosi di sana. Mama Helda mengalami pendarahan hebat di tengah pelariannya. Kutebak pasti gara-gara tendangan suaminya malam itu. Orang-orang menemukan tubuhnya yang pingsan di tengah ladang, sebelum kemudian dibawa ke rumah sakit.” (Thayf, 2009: 185, 188).
Anindita dengan tokoh Mabelnya menguasai keseluruhan cerita tentang perjuangan perempuan lanjut usia untuk orang dan tanah Papua yang sedang dijajah. Dikuatkan dengan, mengutip pernyataan Kris Budiman –kritikus sastra dan juri Sayembara Novel DKJ 2008- ‘... juga Mabel yang menjadi gambaran seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika ala aktivis perempuan menengah-kota”, bahwa di balik ‘kegarangan’ Mabel terhadap laki-laki, diam-diam, justru Leksi, cucu yang diharapkan, menyimpan kerinduan dan angan-angan yang dalam terhadap sosok yang namanya Bapak. “Yosi tidak tahu, yang membuatku tertarik pada jalan besar itu adalah harapanku akan bertemu Bapak..., Aku hanya ingin melihat wajah Bapak untuk memastikan benarkah sosoknya semengerikan hantu sehingga namanya enggan disebut Mabel maupun Mace?..., Aku tidak tahu kalau itulah yang namanya rindu... Tanpa sadar kuraba mata dan hidungku bergantian. Benarkah sama? Sama apanya? Seketika itu pula aku merasakan ledakan keinginan untuk berlari menghampiri cermin di kamar dan menikmati kemiripan wajah kami –aku dan Bapak.” (Thayf, 2009: 27, 149).
Di balik serbuan ‘racun’ kebencian atas laki-laki yang ditularkan Mabel dan Mace kepada Leksi, justru dengan kekanak-kanakan Leksi, bocah perempuan ini mendambakan seorang pace dalam hari-harinya. Terlepas apakah Leksi sedang mengidap cinderella complex –gejala psikologis jatuh cinta anak perempuan pada laki-laki pertama yang dikenal dan dekat, biasanya kepada sosok bapak- Leksi adalah manifestasi dari perempuan Papua dengan budaya maskulinitasnya yang kental. Cukup jelas, betapa ‘naluri’ keperempuanannya mendambakan sosok laki-laki di tengah kehidupannya nanti seperti angan-angan anak perempuan Papua kebanyakan. “Aku lebih suka melihat Pace Arare memakai topi burung daripada topi hitam, karena membuatnya terlihat lebih gagah. Aku suka lelaki gagah. Suatu saat nanti aku akan menikah dengan seorang lelaki gagah. Namun bukan Pace Arare, tentu saja. Dia sudah tua.” (Thayf, 2009: 25).
Jika dicermati lebih lanjut, Mabel pun sebenarnya tak dapat menampik bahwa anak laki-lakinya yang kurang ajar itu tak mudah ia lupakan. Di lain waktu Mabel menyandingkan kepolosan dan kekritisan Leksi setara dengan kecerdasan anak laki-lakinya. “Aduh, Lisbeth! Anakmu sungguh cerdas! Benar-benar cerdas,... Dia mirip sekali dengan bapaknya. Ya, ya. Mirip sekali. Kau pasti sadar itu, bukan?” (Thayf, 2009: 20). Kenapa Mabel tidak menyandingkan kekritisan Leksi adalah turunan dari dirinya yang cukup berpendidikan dalam membesarkan Leksi? “Aku menaruh harapan besar kepada Leksi. Aku tahu dia mewarisi darahku. Darah pejuang.” (Thayf, 2009: 62). Tapi, justru kepada anak laki-lakinya yang durhaka? ‘Pengakuan’ atas laki-laki juga dituliskan oleh penulis dalam novel ini, bahwa narator Pum adalah seekor anjing laki-laki tua yang sangat setia.
Agaknya, begitu juga dengan narator Kwee, babi laki-laki sebaya Leksi yang sedang ditempa Pum untuk tidak pemalas dan lebih berani melindungi Leksi dan Mace kelak. Tentu saja dua narator hewan ini sudah mengalami ‘pembiasan-pembiasan’ untuk lebih adil dan sensitif ketika melihat relasi ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di tanah Papua. Kehidupan tiga generasi tokoh perempuan dalam novel ini sejatinya ditopang oleh laki-laki –sekalipun itu hewan. Inilah model kalimat-kalimat feminis di dalam teks yang ditulis oleh penulis dan pengarang (sebagian) perempuan. Bahwa gejala phallocentric –dimana laki-laki sebagai pusat segala model- sebenarnya diidap oleh Mabel, mungkin juga oleh penulis novel sendiri. Monique Wittig (dalam Mills, 2005: 34) mengatakan, gejala phallocentric juga diikuti dengan pengakuan penulis atau pengarang –sadar atau tidak sadar- bahwa gender tidaklah terbagi dua, melainkan hanya satu yaitu feminin. Sementara gender maskulin bukanlah termasuk dalam kategori gender. Maskulin bukanlah maskulin, tapi umum . Inilah ambivalensi Anindita dengan keperempuanan tokoh-tokoh perempuannya; antara benci dan rindu kepada sosok bernama laki-laki. Sangat emotif memang.
Tanah Tabu III: Berpadunya Ideologi dalam Gugatan
Gugatan Anindita melalui tokoh Mabel terhadap dominasi laki-laki di tanah Papua jauh lebih kompleks adalah gugatan kepada perusahaan tambang dan negara. Konsep “bumi adalah ibu” sekiranya menjadi titik tolak kenapa Mabel rela berjuang berdarah-darah sendirian, tanpa didukung penuh oleh mama-mama kebanyakan. “Dari dulu aku jarang menangis, Sayang. Menangis hanya membuatku semakin lemah, dan aku tidak mau itu terjadi. Selain itu, aku juga kasihan dengan Tanah Ibu kalau kita terus-menerus menyiramnya dengan air mata kita. Air jadi asin. Tanaman tidak bisa tumbuh subur. Binatang di hutan berkurang. Langit pun ikut mendung. Nasib baik tidak akan datang kalau kita menangis terus.” (Thayf, 2009: 57-58). Membabat gunung (gunung Ertsberg dan Grasberg oleh perusahaan Freeport di Papua) sama saja dengan ‘membabat’ kelahiran demi kelahiran anak cucu mendatang. Sementara, bagi Mabel, gunung dan tanah Papua ini tidak saja untuk tidak diperjualbelikan, tapi juga keramat, tabu, dan patut dimuliakan. Melawan perusahaan tambang yang serakah adalah melawan masa depan agar tak bodoh dan miskin. Ideologi perlawanan inilah yang menjadi ‘khas’nya novel Tanah Tabu.
Alotnya kawin mawin perusahaan tambang dan negara –baik oleh aparat maupun para elit lokal- mengeruk bumi Papua, dalam waktu bersamaan juga meracuni orang Papua. “Kalau anjing setia kepada tuannya dan kucing kepada rumahnya, perusahaan di ujung jalan itu hanya setia kepada emas kita. Tidak peduli apakah tanah, air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskin di tanah sendiri!” (Thayf, 2009: 133-134, 140). Ungkapan kekesalan dan gugatan Mabel ini lebih kepada kemanusiaan orang Papua daripada sebatas pembelaan kekeramatan atas tanah mereka. Modernitas yang dibawa dan ditularkan oleh orang-orang perusahaan tambang kepada orang Papua adalah modernitas yang common sense (biasa dan sudah menjadi rahasia umum), sederhana, mudah terinstitusi dalam masyarakat, namun sulit diubah. Modernitas kapitalistik. Mabel tidak menginginkan modernitas yang demikian. Jauh lebih dari itu ialah modernitas yang berdasarkan pada pembelaan terhadap harkat kehidupan manusia. Bukan pembelaan atas Tuhan. Karena konsep Tuhan, bagi Mabel dan orang Papua sudah selesai dan tak perlu penggugatan –meskipun kadang dengan mudah dan senang hati mereka menanggalkan animisme dan dinamisme. Mabel juga tidak menggugat orang kaya baru di tanah kelahirannya, sebagai dampak dari banyaknya modal masuk ke tanah Papua. Mabel menggugat chaos (kekacauan) yang memakan korban jiwa, anak-anak Papua mati mengenaskan dan sia-sia, sebagai malapetaka berdirinya perusahaan tambang di sana. Mabel menggugat kebodohan dan kemiskinan yang timpang.
Ketegangan sosiopolitik dan kultural yang diperjuangkan tokoh Mabel terus berlanjut. Ketegangan ini menjadi-jadi ketika negara yang otoriter ambil alih mengamankan orang-orang Papua bersuara keras dan kritis. “... Orang-orang berseragam dan bersenjata di bahu yang berwajah galak, beberapa malah tampak seperti pengecut. Mereka datang ke rumah Anabel dengan ribut dan tanpa sopan santun sama sekali, sehingga di mataku rombongan itu lebih menyerupai segerombolan jagoan pasar daripada sekelompok orang-orang berpendidikan. Sungguh tidak tahu aturan!” (Thayf, 2009: 153, 154, 156, 157). Oligarki lama; militeristik, menjadi pengunci segala gugatan dan perlawanan di tanah Papua. Negara mengamankan orang Papua tidak dengan pendekatan humanity (kemanusiaan) tetapi secara militeristik, konotasinya sama dengan gencatan senjata untuk perang.
Sementara, yang dihadapi negara adalah mama-mama dan rakyat Papua sebagai kelompok subordinat; tidak saja subordinat secara kultural tapi juga secara kepentingan dan politis. Mereka bukanlah otak di balik pembuat onar. Mereka adalah korban dari pembuat onar, yang justru diperangi oleh negara sendiri dengan tidak manusiawi. “Hah! Akhirnya... Papua kehilangan lagi dua puluh orang yang berotak tumpul. Orang-orang pemberani yang bodoh karena dengan mudahnya diracuni hingga saling bunuh saudara sendiri dengan suka hati. Mati muda hanya gara-gara hal sepele. Kapan orang-orang itu pada sadar ee...” (Thayf, 2009: 144). Hinanya militeristik ialah tidak adanya kesempatan guna membela diri, dengan mudah korban dibuat merasa bersalah dan berdosa. Militeristik adalah teror nyata yang mematikan.
“... Anabel lebih terlihat seperti binatang buruan terluka yang bersiap mati demi kebebasannya.... Ia mencoba melepaskan diri dari tangan-tangan kekar yang mencengkeram daging dan kulitnya sambil melolong-lolong tak terima.... Sebuah tendangan di pinggul, tamparan di pipi, dan teriakan menyuruh diam yang sangat kerans... Ya Tuhan. Waktu itu, aku berharap lebih baik mati saja, dan kalaupun rohku masuk neraka, setidaknya siksaan di sana pastilah dijatuhkan-Nya kepadaku dengan adil; sesuai kesalahan yang telah kulakukan. Bukankah begitu yang tertulis di Kitab Suci? ” (Thayf, 2009: 155, 156). Potret militeristik ini terjadi di depan publik dengan menampar, menendang, menghimpit, menusuk bagian-bagian tubuh. Tubuh Mabel merupakan aparatus. Ia adalah sasaran utama untuk ditertibkan atau didisiplinkan agar jera dan berguna. Dengan penghukuman atas tubuh sebagai pendosa, proses pendisiplinan akan lebih mudah terwujud. Bagian tubuh, setelah disiksa, menjadi gambaran bahwa kejahatan telah terjadi dan Mabel sebagai tertuduh adalah bersalah. Penghukuman juga memerlukan ‘pengakuan’ dari Mabel sebagai ‘terdakwa’. “Kalian tahu, sejak pagi hingga malam hari, aku dipaksa menjawab rentetan pertanyaan aneh yang tidak kupahami apa hubungannya dengan diriku. Pertanyaan-pertanyaan mengerikan yang jika kuajwab ‘Tidak Tahu,’ atau, ‘Maksudnya apa?’ maka satu per satu siksaan akan susul-menyusul jatuh ke tubuhku.” (Thayf, 2009: 158). Karena, pengakuan merupakan bukti yang amat kuat untuk terdakwa, dan pengakuan merupakan kemenangan seluruh prosedur penyelidikan, karena melalui pengakuan ini terdakwa menyatakan diri bertanggungjawab atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dengan begitu terdakwa menghukum dirinya sendiri.
Penyiksaan sebagai penghukuman ini adalah ritual yudisial dan politik yang mempertontonkan bahwa kejahatan terjadi dan militeristik (sebagai penguasa) telah berusaha mengontrol. Ini model bagaimana negara dengan militeristik sebagai penguasanya ada, bekerja, dan menunjukkan ‘kebenaran’ versi mereka sebagai pelaksana kekuasaan . Penghukuman ini mencapai posisi puncaknya ketika dirasionalkan dan dibirokrasikan/diinstitusikan dalam berbagai bentuk. Dengan begitu, negara dengan militeristiknya, tidak hanya lebih mudah dalam mengontrol, tapi juga lebih mudah dalam memprediksikan siapa yang ‘benar’ dan siapa yang ‘salah’.
Pada negara fasis, militeristik bertanggung jawab besar atas pembangunan bangsa-negara. Di Indonesia, militeristik seolah-olah penentu utama kedaulatan dan keamanan. Proses pembangunan bangsa-negara (nation building) direpresentasikan dengan berbagai elemen dan material, sekurang-kurangnya melalui; lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, dan bahasa kebangsaan. Ancaman-ancaman yang terdeteksi dan terlihat secepat mungkin dibumihanguskan dari permukaan. Di tanah Papua dan dalam Tanah Tabu, konsep nation building ini juga menguat dan pelik. “... Orang-orang berseragam dan membawa senjata merampas noken (tas rajut khas Papua) terakhir dari tangan keriput Mabel. Lantas membuangnya ke tanah sambil menuduh Mabel telah membuat bendera musuh... Tapi itu noken, Anak, bukan bendera... Bohong! Ini yang berwarna biru dan putih. Bagian bendera musuh. Sebentar lagi kau pasti akan membuat gambar mataharinya.” (Thayf, 2009: 220). Nation building selalu dijaga, didefinisikan, direpresentasikan, diformasikan berulang-ulang, terus menerus tanpa henti, dari kepekaan yang semakin lama semakin khas ke arah satu kawasan geografis tertentu, Indonesia. Sehingga, hal-hal di luar definisi dari nation building dianggap ancaman, musuh, teror, pembangkang, dan harus dibunuh. Mabel dibunuh. Dalam sebuah negara-bangsa, keamanan selalu dijaga, dan pemberontakan selalu ‘dipelihara’. Karena dengan demikianlah ‘identitas-identitas’ dalam nation building itu terwujud dan menemukan bentuknya dalam lingkaran diskriminasi selanjutnya.
Sebagai sastra perlawanan, Tanah Tabu, tidak hanya bercerita banyak kepada pembaca tetapi juga meminta banyak keadilan kepada pembaca, penulis, negara, bahkan dunia. Remuknya tanah dan orang Papua tidak terselesaikan dengan mengecam, berdemo, berdialog, dan kerja sama. Tetapi juga dengan menyentuh lebih dalam sisi-sisi kemanusiaan orang-orang yang terlibat dalam penjajahan, pemiskinan, dan pembodohan di tanah Papua. Pengerukan semena-mena atas perut bumi di tanah Papua melahirkan banyak problematik -status sejarah dan politik, ingatan kekerasan dan penderitaan, diskriminasi pembangunan dan peminggiran harkat dan martabat para perempuan Papua, serta ‘gula-gula’ politik Otonomi Khusus dan pemekaran daerah. Perusahaan tambang di tanah Papua yang datang dari negara ‘maju’, menawarkan satu paket menarik yaitu memadukan material dari ekonomi pasar, kebebasan politik, dan budaya demokrasi liberal . Tetapi, sebagai pelaku utama kapitalis di tanah Papua, justru lupa akan konsep dan pemenuhan hak-hak asasi dan harkat kemanusiaan, dimana HAM adalah ‘anak kandung’ dari lahirnya kapitalisme –sebagai konsekuensi dari individualistik. Negara, dalam Tanah Tabu, tidak melaksanakan perannya sebagai pelaku politik modern yang mampu menjinakkan kekuasaan liar negara, mengarahkan kegiatan-kegiatannya ke arah tujuan-tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya, dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum yang adil.
Catatan penulisan
Posisi saya dalam tulisan ini mengkritik Tanah Tabu dari berbagai perspektif. Jika pada beberapa bagian tulisan terkesan saya, secara subjektif, bertransformasi seperti atau sebagai atau sebagian menjadi aktivis kemanusiaan ataupun aktivis gender, saya tak menyangkal. Benar memang, sebagian sumber tulisan ini bereferensi pada tulisan-tulisan aktivis dan peneliti dari tanah Papua. Dengan begitu, sekiranya para pembaca mahfum dengan posisi saya sebagai penulis dalam kritik sastra ini.
Selain itu, kritik atas novel ini bersifat matriks dan multidisiplin. Saya menyandingkan berbagai elemen sosial dalam satu cakupan subtema kritik. Sebagai contoh, etnisitas berelasi kuat dengan kelas sosial, budaya maskulinitas, dan taraf pendidikan, yang kemudian membentuk sejauh mana satu tokoh akan lebih mendominasi/menguasasi daripada tokoh lain. Hal ini mengingat betapa kompleks dan peliknya permasalahan yang disodorkan oleh novel ini, seperti pada realitas tanah Papua sendiri. Totalitas atau totalisasi kritik dalam tulisan ini hanya berlaku untuk Tanah Tabu dan kritik sastra ini. Tidak ada unsur penyerangan kepada salah satu pihak secara personal dalam kritik sastra ini, ‘murni’ hanya sebagai interpretasi dan tafsiran yang dibantu oleh beberapa perspektif. Terima kasih.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^