Skip to main content

Perempuan ‘Seksi’ dalam Jaring Korupsi Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Kasus Korupsi Ahmad Fathanah pada Portal Berita Tempo.co

Pendahuluan

Menyimak pemberitaan seputar perempuan dan kasus korupsi selama tahun 2011 hingga 2013, beberapa nama perempuan terseret ke ‘meja hijau’. Indonesia seolah-olah gempar, tak percaya bahwa perempuan “mereka” (baca: negara dan laki-laki), ‘tega’ dan ‘mampu’ menyuap serta menerima suap sebagai praktik korupsi, yang ‘biasanya’ jamak dilakukan oleh laki-laki. Pemberitaan keterlibatan perempuan dalam praktik korupsi ini menenggelamkan berita nasional di Indonesia. Sebut saja kasus penyuapan jaksa oleh Artalyta Suryani, kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia oleh Nunun Nurbaeti dan Miranda Swaray Goeltom, kasus pembobolan dana nasabah Citibank oleh Malinda Dee, kasus suap proyek Wisma Atlet yang melibatkan Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, dan Yulianis, kasus korupsi pengadaan alat kesehatan oleh Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah. Para perempuan ini terlibat tidak hanya sebagai pelaku, tetapi juga sebagai operator untuk mengamankan koruptor (laki-laki, dan perempuan?) dari jeratan hukum (Amiruddin, 2012: 98) . Hal yang menarik sekaligus janggal dari pemberitaan kasus ini ialah terkuaknya sisi kehidupan pribadi dan gaya hidup mereka. Seperti, merek-merek barang yang dikenakan, operasi payudara, cat warna rambut, harga tas, jilbab, merek kacamata, sepatu dan lipstik, serta jadwal malam minggu mereka. Lebih dari itu peran mereka sebagai ibu sekaligus pejabat publik juga dipreteli dari (seharusnya) sebagai pengayom keluarga dan masyarakat justru dikontraskan sebagai koruptor dan penjahat negara.

Sebaliknya, hal ini hampir tak pernah terjadi pada pemberitaan mengenai penyuap atau koruptor laki-laki. Dalam kasus korupsi Ahmad Fathanah misalkan, keterlibatan banyak perempuan di dalamnya, seperti, Maharani Suciyono (mahasiswi), Vitalia Shesya (model), Ayu Azhari (artis), Sefti Sanustika (istri Ahmad Fathanah), Tri Kurnia Puspita (penyanyi), Dewi Kirana (penyanyi dangdut Pantura) tidak kemudian menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kedirian atau penampilan Ahmad Fathanah, entah itu sebagai pengusaha, sebagai suami maupun sebagai ayah. Melainkan, yang mendapat sorotan lebih mengenai diri dan kedirian justru para perempuan yang menjadi saksi dari kasus korupsi Ahmad Fathanah ini. Penggambaran pemberitaan tentang perempuan yang berada dan terlibat dalam jaring kasus korupsi menarik dicermati lebih lanjut. Karena, model pemberitaan atas kasus korupsi –yang merupakan kasus serius dan merugikan banyak orang- menjadi pemberitaan yang seolah-olah mirip infotainment yang remeh temeh, rumor tentang kehidupan pribadi, dan ‘menarik tapi tidak penting’ karena tidak terkait dengan kepentingan publik (Carter, 1998: 226) . Model pemberitaan macam begini, alih-alih mengharapkan adanya idealisme yang berpihak kepada perempuan, justru cenderung menjerumuskan ke dalam wacana subordinasi dan stereotipe terhadap perempuan melalui pergunjingan atas tubuh dan gaya hidup (Amiruddin, 2012: 100) . Pemberitaan tidak lagi fokus pada kasus korupsi, akan tetapi justru berbelok kepada hal-hal yang sifatnya gosip belaka. Jika sudah demikian, akan ada hal-hal penting yang (sengaja) ‘di/tertelantarkan’ dalam pemberitaan tersebut; seperti, pembaca atau rakyat tidak lagi merasa dirugikan akan praktik korupsi serta ‘proyek’ atas paham “ibuisme dan pengiburumahtanggaan” akan semakin masif diwacanakan dalam media berhubung ruang publik dan politik dinilai ‘tidak tepat’ bagi perempuan.

Menariknya, posisi para perempuan dalam kasus ini bukanlah tokoh sentral yang merampok uang dan merugikan rakyat. Para perempuan ini adalah saksi atas kasus korupsi Ahmad Fathanah. Mereka adalah pihak-pihak yang dialiri uang dan barang mewah lainnya hasil dari pencucian uang yang dilakukan oleh Ahmad Fathanah. Akan tetapi, fakta media memberitakan justru merekalah yang diberitakan, dinarasikan, dan digambarkan secara berlebihan, sensasional, mendalam, dan terkesan di luar konteks berita atau kasus utama. Hal ini menimbulkan implikasi yang tak sederhana. Seperti, penelusuran informasi yang melibatkan kerabat, tetangga, ataupun pedagang yang ngetem di sekeliling rumah mereka, yang notabene tak mengerti duduk perkara kasus ini. Informasi yang beredar pun kemudian melebar kepada hal-hal di luar kasus korupsi dan pencucian uang sebagai sentral utama. Seperti, persoalan anak, mertua, aktivitas di dalam rumah (hangout), dan seterusnya. Hal ini kemudian ditambah dengan kecilnya peluang bahkan tak ada ruang bagi para perempuan sebagai saksi ini untuk membela diri atas pemberitaan yang terkesan tak cover both side, tak ‘seimbang’.

Dalam kasus korupsi (suap impor daging sapi) Ahmad Fathanah ini, pewacanaan marginalisasi perempuan dalam pemberitaan kasus ini penting dicermati lebih dalam. Ketika kasus Ahmad Fathanah dan keterlibatan banyak perempuan di dalamnya booming, berimplikasi pada gerakan feminis dan perjuangan perempuan (seperti; hak-hak, kesetaraan, dan seterusnya) rontok dan luluh lantak begitu cepat. Hal ini dikarenakan pemberitaan yang tersebar luas menggambarkan bagaimana perempuan di sekeliling Ahmad Fathanah ‘patut’ menjadi ‘korban’ dan memang ‘begitu adanya’. Dengan kata lain, pemberitaan yang terjadi menggambarkan para perempuan ini sebagai sosok yang sangat tidak mengesankan. Para perempuan ini digambarkan sebagai perempuan ‘mata duitan’, janda yang tak berdaya dan bisa dibeli, ‘ayam kampus’ yang innocent, selebriti yang ceroboh, istri muda yang tidak rasional, pedangdut ‘saweran’, serta stereotyping dan citra subordinatif lainnya. Jika sudah demikian, akan ada hal-hal penting yang (sengaja) ‘di/tertelantarkan’ dalam pemberitaan tersebut; seperti, pembaca atau rakyat tidak lagi merasa dirugikan akan praktik korupsi serta akan semakin masif diwacanakan di dalam media bahwa ruang publik dan politik dinilai ‘tidak tepat’ bagi perempuan.

Tempo.co: Aparatus Ideologi

Portal berita Tempo.co (tempointeraktif.com) merupakan salah satu online media yang tak putus-putusnya memberitakan kasus korupsi Ahmad Fathanah sejak awal 2013 hingga sekarang –setidaknya hingga vonis hukum bagi Ahmad Fathanah dijatuhkan. Tempo.co memberi tanda hashtags terhadap kasus ini, sebagai kasus penting, populer, trending topic, dan tentu saja tidak sedikit pembaca yang penasaran akan kelanjutan cerita kehidupan Ahmad Fathanah dan para perempuan di sekelilingnya. Portal ini merupakan pionir portal berita, sejak 1995 hadir menjawab kebutuhan yang mampu menyajikan informasi yang akurat, sesuai tagline mereka “enak dibaca dan bisa dipercaya”.

Tempo.co merupakan salah satu bentuk konvergensi media dari Tempo Media Grup yang merajai pemberitaan tanah air, khususnya dalam format laporan panjang dan majalah berita. Dalam perjalanannya, Tempo.co banyak mengalami pembenahan. Pada 2008, portal berita ini tampil dengan wajah baru dan sajian berita yang berkualitas. Sepanjang 2009 dan 2010, Tempo.co telah berkembang lebih jauh. Dari sisi jumlah berita yang ditampilkan, misalnya, kini rata-rata jumlahnya sehari telah mencapai 300 berita. Jumlah pengunjung pun meningkat pesat. Catatan Google Analytics menyebutkan bahwa sepanjang 2010 terjadi peningkatan jumlah pengunjung Tempo.co sebesar 190 persen, yaitu dari rata-rata 1 juta pengunjung naik menjadi 3,5 juta pengunjung per bulan. Sementara itu, jumlah halaman yang dibuka oleh satu pengunjung juga mengalami peningkatan menjadi 11 juta halaman per bulan. Yang menarik pendapatan iklan Tempo.co pada 2010 ikut mengalami peningkatan sebesar 26%. Pada 2011, Tempo.co meraih Silver Award “The Best Mobile Media 2011” dari Asian Digital Media Award. Hal ini tidak terlepas dari tren akses media mobile yang menghendaki pengembangan aplikasi yang bisa diakses via telepon seluler, BlackBerry, iPhone, iPad, dan tablet Android .

Tempo.co sebagai berita internet memiliki karakter berbeda dengan Majalah Tempo maupun Koran Tempo. Perbedaannya terletak pada model pemberitaan. Jika pada majalah dan koran, Tempo lebih cenderung menampilkan berita yang tidak hanya lugas, tetapi juga dalam dan menyeluruh. Hal ini berbeda dengan portal berita Tempo.co yang menampilkan berita singkat, tidak lengkap, bersambung pada berita selanjutnya, dan jelas saja tidak sedalam dan selengkap pada majalah dan koran Tempo. Karakter ini memang kemudian menjadi ‘genre’ baru dalam fenomena atau tradisi media baru (new media atau media online ) di Indonesia, meski tidak semuanya. Karakter ini dikehendaki karena berita-berita yang tampil pada portal web tidak berumur panjang. Dengan kata lain, model berita di portal web berdasarkan tempo waktu, bisa per detik atau bisa per menit. Hampir setiap berita pada portal web dapat diperbaharui sesuai perkembangan informasi terbaru dalam hitungan detik atau menit.

Dewan Pers dalam Tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber menjelaskan dalam bagian (2) Verifikasi dan Keberimbangan Berita dalam butir (c) syarat ke (4) menjelaska media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir pada berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. Sementara butir (d) menjelaskan bahwa setelah memuat berita dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.

Tempo.co (media) sebagai konstruksi sosial (socially contructed) memberikan atau menawarkan posisi dalam ideologi, yakni menawarkan subject. Posisi subjek adalah perspektif atau serangkaian makna diskursif regulatif dan tertata di mana teks atau diskursus tersebut dipahami. Subjek inilah yang harus kita ikutsertakan dalam identifikasi agar diskursus itu menjadi bermakna. Dalam mengidentfikasikan posisi subjek ini, teks mengikatkan kita aturannya: teks berusaha menggambarkan kita sebagai jenis subjek atau person tertentu. Pada posisi inilah media bekerja secara ideologis. Media menawarkan posisi yang dapat ditempati pembaca dan dalam waktu yang sama juga memberikan pembeda dengan pembaca, bahwa mereka bukan bagian yang direpresentasikan media. Media sebagai konstruksi representasi memberikan atau menawarkan posisi-posisi kepada subjek serta merekret individu guna menempati posisi tersebut (Barker, 2011: 268) .

Althusser memperkenalkan peneguhan ideologi dilakukan melalui dua konsep, yaitu, melalui Aparatus Represif Negara (Repressive State Apparatus/RSA) dan Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Apparatuses/ISAs). Repressive State Apparatus terdiri atas lembaga-lembaga yang dibentuk oleh negara, seperti kepolisian, aparat militer, penjara, pengadilan, dan pemerintahan sendiri. Pengaruh aparatus ini lebih ditekankan pada wilayah-wilayah publik dan cenderung dipraktikan melalui kekerasan. Sementara Ideological State Apparatus terdiri atas beberapa institusi yang terspesialisasi seperti: melalui institusi religius dengan adanya sistem masjid atau gereja yang berbeda, melalui institusi pendidikan dengan adanya sistem sekolah umum dan sekolah swasta yang berbeda, melalui institusi keluarga, melalui institusi hukum, melalui institusi politis seperti partai politik yang beragam, melalui institusi perdagangan, melalui institusi komunikasi (seperti pers, radio, televisi, internet), melalui institusi kebudayaan seperti sastra, olahraga, seni, dan lain-lain. Pengaruh aparatus ini lebih ditekankan pada ranah privat dan individual, serta dipraktikan cenderung lebih pada ideologi tertentu. Meski demikian, yang menarik dari dua konsep ini bukan pada praktik ranah publik-privat atau kekerasan-ideologis, tapi lebih kepada bagaimana institusi-institusi ini berfungsi.

It is unimportant whether the institutions in which they are realized are 'public' or 'private'. What matters is how they function. Private institutions can perfectly well 'function' as Ideological State Apparatuses. A reasonably thorough analysis of anyone of the ISAs proves it (Althusser, 1971: 152) .

Gagasan Althusser mengenai transformasi individu menjadi subjek sebagai fungsi ideologi terjadi dalam dua hal. Pertama, mengenai interpelasi (interpellation/hailing) atau pemanggilan. Argumentasi dasarnya adalah ISAs, adalah organ yang secara tidak langsung mereproduksi kondisi-kondisi produksi dalam rakyat. Pada cara ini individu ditempatkan sebagai subjek, kita disadarkan mengenai posisi kita dalam masyarakat, kita menjadi subjek dalam dua dunia: kita adalah subjek sebagai individu dan kita adalah subjek dari negara atau kekuasaan. Subjek dan pengakuan akan posisi ini dihubungkan secara imajiner dengan kondisi dari hubungan kita dengan keseluruhan produksi makna yang ada dalam kehidupan rakyat. Althusser menyebut ini sebagai interpelasi, melalui mana seseorang akan ditempatkan posisinya dalam kehidupan rakyat. Interpelasi di sini mengkonstruksi seseorang, membentuk subjek dalam posisinya dengan rakyat dan bagaimana seharusnya bertindak. Kedua, mengenai kesadaran. Kesadaran berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi itu sebagai suatu kesadaran. Mereka menerima hal itu sebagai suatu kenyataan, suatu kebenaran.

All ideology hails or interpellates concrete individuals as concrete subjects, by the functioning of the category of the subject... That ideology 'acts' or 'functions' in such a way that it 'recruits' subjects among the individuals (it recruits them all), or 'transforms' the individuals into subjects (it transforms them all ) by that very precise operation which I have called interpellation or hailing (ibid, 160) .

Meski demikian, model interpelasi Althusser bekerja terkesan sederhana (simplifistik), karena konstruksi subjek sebetulnya berjalan melalui proses yang kompleks. Pertama, penyapaan atau pemanggilan tidaklah berjalan pada jalur yang tunggal secara langsung. Bahkan penyapaan atau pemanggilan paling banyak terjadi pada penyapaan yang sifatnya tidak langsung. Kedua, dengan menempatkan penyapaan secara langsung kepada subjek, seakan subjek atau pembaca tidak mempunyai otonom dan pilihan. Padahal, dalam kenyataannya subjek atau pembaca mempunyai keleluasaan bukan hanya untuk tidak menoleh ketika disapa atau dipanggil, keleluasaan bukan hanya menempatkan dirinya di antara ‘karakter’ atau aktor, tetapi juga keleluasaan untuk menafsirkan isi panggilan atau teks secara keseluruhan.

Schiller (dalam Barker, 2011: 299) mengulas kasus bahwa media cocok dengan sistem kapitalis dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, dan korporasi transnasional khususnya. Media dilihat sebagai kendaraan bagi pemasaran korporat, memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang iklan. Ini beriringan dengan pengakuan atas efek ideologis secara umum dimana pesan-pesan media menciptakan dan memaksa keterikatan penonton kepada status quo. Berita dalam media bukanlah cerminan realitas, melainkan ‘meletakkan realitas secara bersama-sama’ (Schlesinger dalam Barker, 2011: 276) . Berita dalam media bukanlah ‘jendela dunia’ yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi hasil seleksi dan kontruksian yang membentuk ‘realitas’. Pemilihan berbagai hal yang akan dimasukkan ke dalam berita dan cara-cara khusus di mana ketika suatu berita telah dipilih, maka cerita yang hasil konstruksian itu tidak akan pernah netral lagi.

Ideologi dalam berita diyakini bukan sebagai akibat dari intervensi langsung oleh pemilik atau bahkan bukan suatu usaha manipulasi secara sadar oleh para wartawan, melainkan akibat dari sikap rutin dan praktik kerja para staf. Wartawan berita memberi konvensi-konvensi dan kode-kode tentang ‘bagaimana harus melakukan’, memproduksi ideologi sebagai suatu pendapat umum (common sense). Ketergantungan media kepada ‘sumber-sumber otoritatif’ mengakibatkan reproduksi ‘pendefinisi primer’ media, yang menilai kelayakan berita. Dalam menerjemahkan definisi primer berita, sebuah media –sebagai pendefinisi sekunder- mereproduksi ideologi yang berasosiasi dengan pihak berkuasa, mendukung ideologi dominan, dan menerjemahkan mereka menjadi idiom-idiom populer (Hall, 1978: 21) . Hubungan praktik representasi dengan praktik ideologi di dalam teks media menurut Stuart Hall (1995: 19-20) bahwa media adalah situs yang cukup signifikan untuk memproduksi, mereproduksi, bahkan mentransofrmasi ideologi. Apa yang ditampilkan atau terjadi di media –yang kita saksikan bersama-sama- merupakan representasi realitas sosial masa kini yang dapat digunakan sebagai corong untuk memahami realitas yang saat ini terjadi .

Dalam kasus korupsi Ahmad Fathanah portal berita ini mengabarkan banyak dan beragam hal, mulai dari hal yang berkaitan dengan korupsi (suap dan disuap) hingga pada persoalan remeh temeh seputar kasus korupsi terebut. Penelitian ini kemudian menjadikan Tempo.co sebagai objek kajian media guna mencermati dan mengkritisi pewacanaan perempuan (marginalisasi, subordinasi, strereotyping) dalam media. Jenis penelitian ini kualitatif-interpretatif. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi, mendeskripsikan, memahami, dan menginterpretasi pola-pola umum, kecenderungan-kecenderungan, dan tema-tema dari data yang diperoleh (Schatzman dkk dalam Creswell, 2010: 298) . Data penelitian berupa teks-teks berita dan gambar pemberitaan perempuan dalam kasus korupsi Ahmad Fathanah rentang waktu 30 Januari hingga 19 Mei 2013.

Kesimpulan

Tempo.co sebagai media memiliki kontrol atau turut serta mengendalikan suatu diskursus, dalam kasus ini ialah diskursus pemosisian perempuan. Beberapa teks berita menampilkan seolah-olah Tempo.co memiliki ‘otoritas’ dan ‘legitimasi’ mendefinisikan perempuan sopan dan tidak sopan ketika mereka tampil di depan publik atau di mata kamera. Salah satunya dengan deskripsi penampilan, wajah, pakaian yang dipakai, serta tak ketinggalan ‘meramal’ situasi jiwa perempuan; sedang depresi atau tidak. Inilah model mekanisme kontrol seperti yang dijelaskan Foucault bahwa semua bisa diatur dan dihukum menurut norma sosial yang berlaku, menurut siapa yang berkuasa pada kurun waktu tertentu. Kerangka teoritis ini bersumber dari keyakinan, hubungan dengan ‘realitas’ diatur melalui pelbagai wacana, kesatuan-kesatuan kepercayaan, konsep-konsep, dan ide-ide yang dianut.

Jika mencermati pemberitaan kasus serupa yakni kasus keterlibatan perempuan dalam lingkaran korupsi, praktik-praktik misoginis pada online media tak kalah mendominasi dari praktik kehidupan keseharian perempuan. Kecenderungan pemberitaan yang marak dewasa ini ialah pembauran antara informasi (berita) dan hiburan dalam pelbagai kasus, termasuk kasus korupsi. Bahkan pada titik tertentu (online) media justru lebih banyak berfungsi sebagai penyedia ‘hiburan’ yang belakangan justru jewantah dari praktik kekerasan simbolik. Menariknya, konsep ‘hiburan’ sendiri perlu dicermati ulang, bahwa konsep ‘hiburan’ bergeser kepada ranah apa yang disebut dengan tabloidisasi. Tabloidisasi adalah cara pemberitaan kehidupan subjek atau pelaku –kebanyakan public figure- secara dramatis, bombastis, serta sensasional (Santosa, tanpa tahun: viii). Pemberitaan yang mengedepankan narasi kekerasan, seks, dan skandal belaka sebagai ‘hiburan baru’ bagi pembaca atau pemirsa.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari permintaan pasar atau bentuk konsumsi informasi tingkat lanjut pada ‘zaman informasional’ bahwa, kita sebagai pembaca atau pemirsa ‘menghibur diri’ dengan ‘berita’ atau kita sebagai pembaca atau pemirsa menginginkan ‘berita’ tapi tidak dalam bentuk ‘berita’. ‘Gejala’ ini berjalin berkelindan dengan kepentingan kapitalis (neoliberalisme) sebagai strategi penjualan oplah bagi media cetak dan rating bagi media elektronik. Agaknya, hasrat Tempo.co pada akumulasi profit dari pemberitaan yang isinya gunjingan belaka ini juga tak bisa diabaikan begitu saja. Di samping itu, Tempo.co sebagai online media yang merupakan satu dari banyak ‘pencipta wacana’ yang berserakan pada rezim ini agaknya turut serta memproduksi dan mereproduksi wacana-wacana yang melanggengkan kepentingan status quo, dalam hal ini kepentingan patriarki dalam pemberitaannya. Representasi perempuan yang dihadirkan oleh Tempo.co dalam kasus Ahmad Fathanah adalah representasi perempuan yang sensasional, representasi yang jauh dari keberpihakan guna mencari dan membantu pembaca hadir pada pokok persoalan utama, yakni kasus korupsi.


Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 1969. For Marx. London: Allen Lane.

-------------------.1971. “Ideology and Ideology State Apparatuses” dalam Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.

Amiruddin, Mariana. 2012. “Dari Payudara Melinda Dee, Rambut Ungu Miranda Goeltom, Hingga Tas ‘Hermes’ dan Kerudung ‘Louis Vuitton’ Nunun” dalam Berantas Korupsi. Jurnal Perempuan Edisi 78. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Ancaman Itu Datang dari Dalam: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen. 2010. Jakarta: AJI.

Barker, Chris. 2011. Cultural Studies: Teori & Praktik. Nurhadi (penj.). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Carter, Cynthia. 1998. “When the ‘Extraordinary’ Becomes ‘Ordinary’: Everyday News of Sexual Violence” dalam News, Gender, and Power. Cynthia Carter, Gill Branston and Stuart Allan (ed.). Routledge: London and New York.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Foucault, Michel. 1972. The Archaeology of Knowledge. United Kingdom: Tavistock Publications Limited.

------------------1980. Power/Knowledge. New York: Pantheon Books.

Hall, Stuart. 1978. “Culture, the Media and the Ideological Effect” dalam J. Curran, M. Gurevitch dan J. Woollacott (Ed.) Mass Communication and Society. London: Edward Arnold.

----------------- 1995. “The White of Their Eyes: Racist Ideologies and the Media”, dalam Dines, Gail, dan Jean M. Humez (Ed.), dalam Gender, Race, and Class in Media: A Text Reader. London dan New Delhi: Sage Publications.

Hardiyanta, Petrus Sunu. 1997. Michel Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. Yogyakarta: LKiS.

Mills, Sara. 1991. Discourse of Difference: An Analysis of Women’s Travel Writing and Colonialism. London dan New York: Routledge.

--------------1995. Feminist Stylistic. London dan New York: Routledge.

--------------1997. Discourse. London dan New York: Routledge.

Ritzer, George. 2009. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose dan Kreasi Wacana.

Santoso, Widjajanti M. 2011. Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media. Yogyakarta: LKiS.

Simons, Jon. 2006. “Michel Foucault (1926-84)” dalam Contemporary Critical Theorist: From Lacon to Said. Jon Simons (Ed.). Edinburg: Edinburg University Press.

Suryakusuma, Julia. 2012. Agama, Seks, & Kekuasaan. Depok: Komunitas Bambu.

Tempo.co/31 Januari, 01 dan 08 Mei 2013 diakses 13 Maret 2013.

Infotainmen, Jurnalisme, dan Sensor, Koran Tempo, 24 Juli 2010 dalam Ancaman Itu Datang dari Dalam: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen 2010.

http://korporat.tempo.co/produk/4/tempo.co akses 31 Maret 2014

http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/pedoman/?id=494 akses 20 Juni 2013

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...