Tulisan ini terinspirasi dari kolom Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia dalam Majalah Gatra (edisi 10-16 April 2014) berjudul Antara Political Branding dan Iklan Politik.
Menyimak kampanye calon legislatif (caleg) dan partai politik tempo hari, kita menyaksikan jor-joran antara figur (aktor politik) dan partai politik saling adu kecepatan dan bahkan saling sikut untuk berebut citra. Tak hanya di televisi, media cetak, dan situs jejaring, bahkan di depan pagar rumah pun, mereka (aktor dan partai politik) berebut ruang, berebut waktu, berebut perhatian, dan berebut ‘siapa cepat dia dapat’ untuk meraup simpati konstituen dalam Pemilihan Umum. Bentuknya, menebar banyak poster, spanduk, baliho, dan seterusnya yang memohon ‘minta dukungan dan doa restu’ serta tak lupa tagline ‘berjuang demi rakyat’. Dan kita menyaksikan bersama-sama, berminggu-minggu, aktor politik bermanuver dan citra populis pun dibangun di sana sini. Citra yang berasosiasi publik sebagai tokoh yang merakyat, peduli, kerja keras, mau berbicara dan makan semeja dengan rakyat, serta punya komitmen yang kuat untuk kepentingan publik. Citra yang tengah digadang-gadangkan dalam praktik berpolitik saat ini.
Adalah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang mempopulerkan citra ini dengan tagline blusukan dalam praktik berdemokrasi di Indonesia. Lalu, tak sedikit aktor politik lainnya turun dan menyapa masyarakat ke kampung-kampung, pasar-pasar tradisonal, serta bantaran sungai, mencoba blusukan demi membangun kepercayaan (trust) dan loyalitas publik. Pertanyaannya; apakah blusukan benar-benar menjanjikan atau sekadar lips-service semata? Hasil Survei Demokrasi PWD UGM (2012) menjelaskan, aktor politik yang ‘menggilai’ ber-populisme, dari sudut pandang inklusi politik, tidaklah benar-benar melibatkan rakyat ke dalam proses politik melalui saluran-saluran yang bersifat vertikal dan beragam. Justru, ada kecenderungan dari gaya politik yang tengah naik daun ini mengkooptasi rakyat dalam proses politik. Rakyat sebatas konstituen yang siap dipikat dengan ‘gincu’ atau ‘bedak’ demi keterpilihan (elektabilitas) dan hanya dalam rentang waktu yang relatif pendek. Ini terjadi justru di tengah proses berdemokrasi yang strategis dan kritis. Ironis memang.
Tak dapat ditampik, dalam proses demokrasi aktor merupakan gagasan sentral serta menduduki posisi kunci. Demokrasi ala Beetham, aktor merupakan agensi yang membentuk keterwakilan popular dan mengakar pada kekuatan popular ini. Aktor lebih dari sekedar elit atau pemimpin. Ia hadir sebagai subjek dan mampu melakukan kontrol terhadap isu publik (Budiman dan Tornquist, 2001). Meski begitu, tidak setiap aktor memiliki massa yang kuat dan solid. Ada kalanya mereka bersifat mengambang (floating) dan cukup licin diidentifikasi secara politik. Sejarah politik kita juga menjelaskan ketergantungan terhadap sosok atau figur sudah mengakar sejak masa kerajaan dan kemudian bercampur-padu dengan rezim kolonial (Jackson dkk, 1978). Rezim Orde Baru mengukuhkannya dengan istilah neo-patrimonial dimana figur ‘Bapak’ hadir dan sebagai penentu segala kebijakan. Hingga sekarang, kita masih menyaksikan bagaimana kehadiran tokoh figur dalam perpolitikan seakan-akan menjadi penentu seluruh kekuatan, entah elektabilitas, ekonomi, maupun dimensi sosial-budaya.
Implikasi yang tak main-main dari gaya politik macam begini ialah persepsi konstituen atas aktor dan partai politik tidak semakin mengarah kepada hal yang positif serta menjanjikan. Di tengah sistem presidensial dengan jumlah partai yang banyak (multipartai) serta identitas partai yang belum mapan (ideologi, platform, dan program yang belum jelas) kegalauan dan ketak-loyal-an konstituen seolah menjadi keniscayaan. Tidak menutup kemungkinan, aktor dan partai politik akan semakin sulit memetakan dan memprediksi konstituen serta wilayah yang akan dijadikan ‘kantung suara’ nantinya. Pemilu 9 April 2014 lalu, berdasarkan hasil hitung cepat, pada umumnya setiap partai politik terperangah dan terkaget-kaget dengan perolehan suara dari partai masing-masing. Tak dinyana, tak disangka segala cara dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas, hasilnya tak satupun partai politik memperoleh suara signifikan guna memenangkan kursi legislatif. Bahkan partai politik yang bertumpu besar kepada sosok figur atau personal (personalizing politics) seperti mereka yang jadi ‘media darling’, ‘si anu effect’, dan ‘kharismatik’ ternyata tak memberi kejutan yang berarti bagi elektabilitas partai politik. Tapi, jangan lupa, gaya politik ini tho masih sangat kental diafirmasi di sekeliling kita.
Partai politik yang berdasarkan atas figur (personalizing politics) cenderung gampang hilang dan terpecah jika sang figur meninggal dunia atau keluar dari partai politik. Partai politik agaknya paham betul akan ancaman ini. Hanya saja, di tengah gempuran gaya blusukan dimana-mana, serta evolusi partai yang tak berkesudahan, bertumpu kepada sosok figur (personalizing politics) menjadi pilihan strategis dan cenderung tunggal.
Tentu saja tak mudah membalik gaya politik macam begini agar bertumpu kepada kualitas dan ideologi partai politik yang sudah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, dimana kualitas personal kandidat tak lebih dari sekedar nilai tambah tanpa harus memperlemah partai politik. Namun, penguatan atas partai politik dan mengkritisi gaya blusukan adalah pekerjaan mendesak yang sesegera mungkin diselesaikan. Kita butuh partai politik yang konsep identifikasinya jelas dan terikat dengan ideologi tertentu. Tidak mencla-mencle, tak punya spesifikasi, dan semua berhamburan ke poros tengah. Ini penting karena, partai politik butuh basis yang kuat, loyal, dan ajek untuk menggaet kader dan konstituen. Jika ini tak terwujud, setiap Pemilu kita akan selalu menyaksikan “makelar caleg” dan “caleg instan” berkeliaran, meminta doa restu, serta mendadak blusukan mendaku diri sebagai negarawan dan pengayom wong cilik. Yang ingin dikatakan ialah jika partai politik masih mengagungkan kehadiran figur atau sosok sebagai ‘juru selamat’, wajah perpolitikan kita akan selalu begini: ketakjelasan ideologi diikuti pemborosan anggaran berdemokrasi di sana sini. Inilah fase anomali terakut dalam proses demokrasi di Indonesia yakni ketika personalizing politics dijadikan candu kemudian puas dengan itu semua.
Menyimak kampanye calon legislatif (caleg) dan partai politik tempo hari, kita menyaksikan jor-joran antara figur (aktor politik) dan partai politik saling adu kecepatan dan bahkan saling sikut untuk berebut citra. Tak hanya di televisi, media cetak, dan situs jejaring, bahkan di depan pagar rumah pun, mereka (aktor dan partai politik) berebut ruang, berebut waktu, berebut perhatian, dan berebut ‘siapa cepat dia dapat’ untuk meraup simpati konstituen dalam Pemilihan Umum. Bentuknya, menebar banyak poster, spanduk, baliho, dan seterusnya yang memohon ‘minta dukungan dan doa restu’ serta tak lupa tagline ‘berjuang demi rakyat’. Dan kita menyaksikan bersama-sama, berminggu-minggu, aktor politik bermanuver dan citra populis pun dibangun di sana sini. Citra yang berasosiasi publik sebagai tokoh yang merakyat, peduli, kerja keras, mau berbicara dan makan semeja dengan rakyat, serta punya komitmen yang kuat untuk kepentingan publik. Citra yang tengah digadang-gadangkan dalam praktik berpolitik saat ini.
Adalah Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang mempopulerkan citra ini dengan tagline blusukan dalam praktik berdemokrasi di Indonesia. Lalu, tak sedikit aktor politik lainnya turun dan menyapa masyarakat ke kampung-kampung, pasar-pasar tradisonal, serta bantaran sungai, mencoba blusukan demi membangun kepercayaan (trust) dan loyalitas publik. Pertanyaannya; apakah blusukan benar-benar menjanjikan atau sekadar lips-service semata? Hasil Survei Demokrasi PWD UGM (2012) menjelaskan, aktor politik yang ‘menggilai’ ber-populisme, dari sudut pandang inklusi politik, tidaklah benar-benar melibatkan rakyat ke dalam proses politik melalui saluran-saluran yang bersifat vertikal dan beragam. Justru, ada kecenderungan dari gaya politik yang tengah naik daun ini mengkooptasi rakyat dalam proses politik. Rakyat sebatas konstituen yang siap dipikat dengan ‘gincu’ atau ‘bedak’ demi keterpilihan (elektabilitas) dan hanya dalam rentang waktu yang relatif pendek. Ini terjadi justru di tengah proses berdemokrasi yang strategis dan kritis. Ironis memang.
Tak dapat ditampik, dalam proses demokrasi aktor merupakan gagasan sentral serta menduduki posisi kunci. Demokrasi ala Beetham, aktor merupakan agensi yang membentuk keterwakilan popular dan mengakar pada kekuatan popular ini. Aktor lebih dari sekedar elit atau pemimpin. Ia hadir sebagai subjek dan mampu melakukan kontrol terhadap isu publik (Budiman dan Tornquist, 2001). Meski begitu, tidak setiap aktor memiliki massa yang kuat dan solid. Ada kalanya mereka bersifat mengambang (floating) dan cukup licin diidentifikasi secara politik. Sejarah politik kita juga menjelaskan ketergantungan terhadap sosok atau figur sudah mengakar sejak masa kerajaan dan kemudian bercampur-padu dengan rezim kolonial (Jackson dkk, 1978). Rezim Orde Baru mengukuhkannya dengan istilah neo-patrimonial dimana figur ‘Bapak’ hadir dan sebagai penentu segala kebijakan. Hingga sekarang, kita masih menyaksikan bagaimana kehadiran tokoh figur dalam perpolitikan seakan-akan menjadi penentu seluruh kekuatan, entah elektabilitas, ekonomi, maupun dimensi sosial-budaya.
Implikasi yang tak main-main dari gaya politik macam begini ialah persepsi konstituen atas aktor dan partai politik tidak semakin mengarah kepada hal yang positif serta menjanjikan. Di tengah sistem presidensial dengan jumlah partai yang banyak (multipartai) serta identitas partai yang belum mapan (ideologi, platform, dan program yang belum jelas) kegalauan dan ketak-loyal-an konstituen seolah menjadi keniscayaan. Tidak menutup kemungkinan, aktor dan partai politik akan semakin sulit memetakan dan memprediksi konstituen serta wilayah yang akan dijadikan ‘kantung suara’ nantinya. Pemilu 9 April 2014 lalu, berdasarkan hasil hitung cepat, pada umumnya setiap partai politik terperangah dan terkaget-kaget dengan perolehan suara dari partai masing-masing. Tak dinyana, tak disangka segala cara dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas, hasilnya tak satupun partai politik memperoleh suara signifikan guna memenangkan kursi legislatif. Bahkan partai politik yang bertumpu besar kepada sosok figur atau personal (personalizing politics) seperti mereka yang jadi ‘media darling’, ‘si anu effect’, dan ‘kharismatik’ ternyata tak memberi kejutan yang berarti bagi elektabilitas partai politik. Tapi, jangan lupa, gaya politik ini tho masih sangat kental diafirmasi di sekeliling kita.
Partai politik yang berdasarkan atas figur (personalizing politics) cenderung gampang hilang dan terpecah jika sang figur meninggal dunia atau keluar dari partai politik. Partai politik agaknya paham betul akan ancaman ini. Hanya saja, di tengah gempuran gaya blusukan dimana-mana, serta evolusi partai yang tak berkesudahan, bertumpu kepada sosok figur (personalizing politics) menjadi pilihan strategis dan cenderung tunggal.
Tentu saja tak mudah membalik gaya politik macam begini agar bertumpu kepada kualitas dan ideologi partai politik yang sudah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, dimana kualitas personal kandidat tak lebih dari sekedar nilai tambah tanpa harus memperlemah partai politik. Namun, penguatan atas partai politik dan mengkritisi gaya blusukan adalah pekerjaan mendesak yang sesegera mungkin diselesaikan. Kita butuh partai politik yang konsep identifikasinya jelas dan terikat dengan ideologi tertentu. Tidak mencla-mencle, tak punya spesifikasi, dan semua berhamburan ke poros tengah. Ini penting karena, partai politik butuh basis yang kuat, loyal, dan ajek untuk menggaet kader dan konstituen. Jika ini tak terwujud, setiap Pemilu kita akan selalu menyaksikan “makelar caleg” dan “caleg instan” berkeliaran, meminta doa restu, serta mendadak blusukan mendaku diri sebagai negarawan dan pengayom wong cilik. Yang ingin dikatakan ialah jika partai politik masih mengagungkan kehadiran figur atau sosok sebagai ‘juru selamat’, wajah perpolitikan kita akan selalu begini: ketakjelasan ideologi diikuti pemborosan anggaran berdemokrasi di sana sini. Inilah fase anomali terakut dalam proses demokrasi di Indonesia yakni ketika personalizing politics dijadikan candu kemudian puas dengan itu semua.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^