Skip to main content

Politisi ‘Playboy’: Analisis Skizofrenia Politik Atas Manuver Politisi Kutu Loncat

Abstrak: penelitian ini membahas manuver politik para politisi yang dikenal sebagai politisi kutu loncat (berpindah-pindah partai politik) menjelang pemilihan umum 2014. Fenomena ini dilihat tidak semata-mata sebagai strategi meraih kekuasaan secara pragmatis. Lebih dari itu, ia adalah gejala kecenderungan nomadisme politik dan skizofrenik politik, yaitu kecenderungan aktor politik konsisten untuk tidak konsisten. Alasannya ialah inkonsistensi dianggap sebagai proses pembebasan diri (self emancipation) dari kungkungan dan dominasi sistem politik, serta pada saat yang sama juga sebagai bentuk ejekan terhadap diri (mocking himself) dari pilihan politik yang diambil. Jenis penelitian ini ialah kualitatif interpretatif, mencermati fenomena politisi kutu loncat kemudian menginterpretasikannya dengan dibantu kerangka pikir skizofrenia politik ala Deleuze dan Guattari.

Kata Kunci: skizofrenia politik, skizoanalisis, Hary Tanoe, kutu loncat

Pendahuluan
Tidak berlebihan jika dalam politik dikenal adagium bahwa politik selalu tampil dengan wajah ganda: wajah bijaksana sekaligus licik; wajah jujur sekaligus penuh tipu daya; dan wajah moralis sekaligus amoralis. Dua wajah ini ditentukan oleh aktor yang membangun politik. Aktor yang buruk, berpikiran kotor dengan hasrat tak terbendung berserakan pada partai-partai politik. Begitu juga, aktor yang punya kerendahan hati, ketulusan moral, dan kesederhanaan hidup bukan tidak ada dalam politik Tanah Air. Hanya saja, menyimak praktik politik akhir-akhir ini kita kerap disuguhi atau bertatap muka langsung dengan aktor politik yang cenderung tampak horor dan rakus. Lebih-lebih menjelang pemilihan umum, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, kerakusan ini dirayakan tepat di depan hidung kita. Tak kaget lagi, proses pembusukan politik pun terjadi dimana-mana.

Menjelang pemilihan umum, kita menyaksikan partai politik dan aktor politik melakukan berbagai upaya, langkah, dan manuver dalam rangka meraih kemenangan politik. Demi kemenangan ini berbagai cara pun boleh dipakai (anything goes) oleh partai politik dan aktor politik di dalamnya. Tidak hanya menjamurnya partai politik baru dengan ideologi yang diusung nyaris seragam. Akan tetapi, kita juga menyaksikan ada ratusan ribu aktor politik baru yang berlaga ‘mengadu nasib’ dalam pemilihan legislatif April 2014 lalu. Tantangan besar pun hadir, yakni persaingan semakin ketat dalam memperebutkan kursi kekuasaan di parlemen. Beragam cara pun dilakukan oleh aktor dan calon aktor demokrasi. Mulai dari cara-cara terpuji hingga cara-cara yang tidak senonoh untuk bersaing dan memenangkan hati rakyat.

Dari beragamnya cara yang dipakai untuk meraih kemenangan itu, fenomena atau manuver aktor demokrasi yang berpindah partai politik menjadi jamak disaksikan. Orang-orang menyebut fenomena ini sebagai politisi kutu loncat, yakni politisi atau aktor demokrasi yang kerap berganti ‘baju’ partai politik. Konon, tujuannya menyalurkan hasrat untuk meraih kekuasaan dengan cara pragmatis. Fenomena politisi kutu loncat akhir-akhir ini semakin kerap kita saksikan. Biasanya, menjelang pemilihan umum aktor demokrasi semakin ‘berani’ memperlihatkan ‘belang’ mereka kepada publik. Dengan memanfaatkan segala sumber daya dan jaringan, melompat dari ‘dahan’ satu menuju ‘dahan’ yang lain pun menjadi biasa dan wajar. Tak lagi peduli ideologi serta platform partai politik tujuan. Dimana ‘dahan’ yang nyaman untuk bergantung, bisa dikatakan, di sanalah tujuannya –untuk sementara.

Mencermati lebih lanjut fenomena kutu loncat dalam wajah politik akhir-akhir ini, agaknya tak bisa dilepaskan dari manuver politik taipan media Indonesia, Hary Tanoesoedibjo alias Hary Tanoe (HT) (id.berita.yahoo.com, 10 Maret 2014). Hanya dalam kurun waktu sekitar empat tahun (2011 hingga 2014) sudah dua kali HT ‘meloncat’ dari partai politik satu ke partai politik lainnya (tempo.co, 25 Februari 2013). Bahkan, belakangan HT yang tadinya bakal calon wakil presiden berpasangan dengan bakal calon presiden Wiranto yang diusung Partai Hanura, berseberangan arah dengan Wiranto dalam mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden menjelang pemilihan presiden 2014 ini. Wiranto condong kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sementara HT condong kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (pemilu.tempo.co, 23 Mei 2014).

Sebenarnya fenomena politisi kutu loncat ini sudah terjadi beberapa waktu sebelumnya. Tidak saja HT yang disebut-sebut sebagai pendatang baru dalam kancah politik Tanah Air (news.okezone.com, 9 November 2011) yang melakukan manuver politik kutu loncat. Beberapa aktor politik yang boleh dikenal sebagai politisi cukup senior juga melakukan hal serupa. Sebut saja, Malkan Amin, Mamat Rahayu Abdullah, dan Enggartiasto Lukita adalah tiga politisi senior dari Partai Golkar yang bergabung dengan Partai Nasional Demokrat. Selain itu, ada juga Jeffrie Geovani dari Partai Amanat Nasional melompat ke Partai Golkar serta politisi Partai Hanura Akbar Faizal pindah ‘dahan’ menuju Partai Nasional Demokrat. Lainnya, seperti politisi Partai Hanura yang cukup vokal, Fuad Bawazier, memilih mendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan alasan kecewa karena Partai Hanura dan Wiranto mendukung pasangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (pemilu.tempo.co, 23 Mei 2014). Yang cerita petualangnya lebih seru ialah Maiyasyak Johan. Dia meninggalkan posisinya di DPR sebagai wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan. Lucunya, hanya dua minggu dia berlabuh pada Partai Nasional Demokrat. Terungkap kabar jika Maiyasyak ternyata sudah pindah lagi ke Partai Golkar (merdeka.com, 12 Februari 2013).

Manuver politik macam begini jelas bukanlah manuver politik yang mengesankan dan jauh dari beradab, entah bagi publik sebagai konstituen yang sudah, tengah, dan akan memberi mandat kepada wakil mereka, maupun bagi partai politik sebagai ‘dahan’ bergantung aktor politik (untuk tidak menyebut sebagai lapangan pekerjaan). Fenomena politisi kutu loncat dalam banyak cerita cenderung mengecewakan rakyat sebagai pemberi mandat politik. Juga, tak kalah mengecewakan dan cenderung menjadi bahan olok-olok dalam lingkup partai politik. Asumsinya, dewasa ini ada kesan bahwa kita mengalami defisit aktor politik yang mumpuni dan bertanggung jawab atas segala pilihan yang sudah dibuat sejak awal melangkah ke dalam ranah politik. Serta, nyaris benar –meski tak bermaksud menyamaratakan-, bahwa partai politik entah itu sebagai mesin politik maupun sebagai lembaga pendidikan politik mandul dalam melahirkan sistem politik yang arif bagi rakyat dan bagi demokrasi sekaligus meranggas karena tak mampu melahirkan negarawan untuk bangsa ini. Yang dilahirkan justru subjek-subjek atau aktor-aktor yang haus kekuasaan, pragmatis, dan cenderung oportunis.

Tulisan ini ingin mengkaji fenomena aktor demokrasi yang ‘dinilai’ sebagai aktor pragmatis, oportunis, dan haus kekuasaan yang dikenal dengan sebutan politisi kutu loncat dalam pespektif skizoanalisis. Di balik menjamurnya fenomena politisi kutu loncat, yang menggelitik ialah apakah mereka benar-benar haus akan kekuasaan? Atau ada hal lain yang dikejar-kejar selain jabatan dan kuasa dengan konteks sosio-politik Indonesia kekinian? Kajian ini mencoba sedikit keluar dari kajian mainstream tentang fenomena kutu loncat dengan memakai pisau analisis skizofrenia politik dari Gilles Deleuze dan Felix Guattari dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia (1972/1985). Jenis penelitian ini ialah kualitatif interpretatif, mencermati fenomena politisi kutu loncat kemudian menginterpretasikannya dengan dibantu kerangka pikir skizofrenia politik ala Deleuze dan Guattari.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...