2 September ini, keluarga besar nenek telah memenuhi rumah nenek dan rumah mak uwo di kampung Jambak. Rumah mak uwo yang luas, sapacu kudo balari, dari ujung dapur hingga taman bunga, selalu diramaikan para cucu dan cicit nenek bermain apa saja. Termasuk saya yang medapat tugas mengasuh bayi-bayi mungil, anak uda uni sepupu. Pengalaman yang luar biasa walaupun kadang sangat menakutkan. Takut salah angkat, tuh kepala bayi bisa patah. Cemas salah pegang, tuh urat bisa salah arah. Alhamdullah, kehati-hatian dan rasa sangat ingin melindungi mengakibatkan bayi-bayi cantik dan ganteng itu hanya bisa tertidur pulas di pangkuan.
Belum lagi pengalaman mandi bersama di sungai panjang dan besar nun jauh di belakang rumah mak uwo. Kami harus melewati pematang sawah yang hanya selebar setelapak kaki. Harus hati-hati, jika kau tak ingin terpeleset dan disambut oleh tanah lumpur yang telah bercampur dengan kotoran bebek. Baunya pahit. Melewati beberapa petak sawah. Satu pemakaman penduduk kampung sebelah, beberapa petak sawah lagi, rimbunan pohon sagu, dan tak jauh dari sana, sungai panjang nan jernih siap menyambutmu kapan saja.
Ya di sini, dimana masa kecilku bersama Abak (alm) dan Amak serta tiga orang kakak-kakakku dihabiskan. Kata Amak, hampir setiap pekan, Abak dan Amak membawa kami menyeberangi sungai ini dan berjumpa dengan mak uwo di kampung Jambak. Karena Abak, setelah menikah dan memiliki anak, tak mau tinggal di tanah pusako istrinya. Oleh sebab itu, rumah kami berada di seberang sungai panjang dan jernih ini. Cerita Amak dan masih terngiang di ingatanku, setiap menyeberang, aku ditempatkan di atas pundak Abak. Uni dan salah seorang abangku, masing-masing dipegang oleh Abak. Sedangkan Amak akan memegang abangku yang satu lagi dan beberapa kantung atau tas keperluan kami. Lengkap sudah. Abak biasanya terlebih dahulu menyeberang, Amak mengikuti dari belakang dengan sangat hati-hati.
Ritual menyeberang ini sangat amat aku sukai. Aku yang bungsu, sepertinya spesial digendong Abak di pundaknya. Dari atas ini aku bisa menyaksikan betapa besar dan panjangnya sungai ini. Dari pundak Abak aku bisa melihat lebih luas dan lapang pemandangan di depan, di belakang, dan di samping kiri kananku. Biasanya aku akan tertawa-tawa sendiri dan berbicara banyak dengan Abak, yang lebih banyak memberi instruksi pada abang, uniku, serta Amakku agar menyeberang berhati-hati. Jika tak mau terbawa arus oleh air sungai itu.
Memang, menyeberang sungai ini tak butuh waktu lama. Paling-paling hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit. Aku masih mengingatnya. Namun, yang tertempel dalam memori otakku hanyalah saat-saat aku berada di pundak Abak. Senang sekali rasanya dan ingin selamanya berada di sana.
Sore itu, bersama ponakanku, aku mencoba menyisir jejak kenangan itu dengan cara berbeda. Menyusuri pematang sawah, pemakaman, sawah membentang lagi serta sungai panjang nan jernih yang setiap tahun, aku perhatikan semakin berubah; tidak lebar dan dalam lagi, tak ada lagi hewan sungai tabau (sejenis kerang laut), yang bisa kami masak dicampur sayur pakis. Sungai itu tak ubahnya seperti sungai-sungai kecil di kampung Jambak, hanya saja lebih panjang dan banyak bebatuan yang menakjubkan.
Aku langsung menceburkan badan pada genangan air yang hanya selutut orang dewasa. Aku tak bisa berenang pada kedalaman selutut ini, pikirku dalam hati. Namun ponakanku, dengan kebiasaannya mandi di sungai, leluasa saja berenang ke sana kemari dan pasrah pada arus yang tak kasar itu. “Capek lah Nte ka tangah mandi,” pekiknya dari tengah-tengah sungai. Aku hanya tersenyum dan melepas pandang ke seberang, semuanya dipenuhi bebatuan dan tak jelas sekali mana tanah perumahan yang pernah kami didiami dahulu. Ah sejak Abak tak ada, semuanya berubah secara perlahan-lahan, namun kadang menyakitkan.
Kata Amak, keberangkatan kita ke kampung Jambak dan jumpa tante serta sanak famili, adalah salah satu cara kita menghormati Abak sekaligus menghibur diri agar tak terkenang beliau yang telah tiada di hari Kemenangan ini. Pedih memang, kehilangan orang yang sangat kami sayangi. Tapi, tentu kami tak bisa berbuat banyak, ketika Abak dijemput oleh Sang Pemiliknya. “Ndak paralu manangih Nak, awak harus kuat bantuak Abak. Adek harus tetap sikolah, Uni harus tetap karajo, Amak harus tetap barusaho,” kata Amak di sela isakku, dua hari sebelum Lebaran di pusara Abak, laki-laki kebanggaanku. Ah, kata-kata ini semakin meruntuhkan dinding pertahanan air mataku siang ini. Semua meleleh dan tak kompromi lagi. Penuh isak dan seakan tubuhku melayang, sayatan di hatiku sepertinya semakin dalam. Namun, Amak tak perlu mengeluarkan air matanya untuk membuat isakku reda. Sembari mempersihkan pusara Abak, beliau berkata-kata yang membuat dadaku kembali lapang dan ringan. Beliau begitu kuat dan penyabar, pikirku. “Abak ndak pernah maninggaan Adek, Uni, Uda dan awak basamo,” penutup kata Amak. Tiba-tiba butiran bening itu kembali bergulir di pipiku. Aku begitu rapuh ya Rabb.
Keikhlasan adalah kunci segalanya. Keikhlasan mendorong kami untuk tetap menatap hari esok setelah Abak wafat. Keikhlasan menuntun hati ini untuk melakukan yang terbaik. Keihklasan mewajibkan kami memperlakukan segala sesuatu dengan lebih arif. Keikhlasan menuntun kami untuk selalu mengikuti jalan yang sesuai dan benar adanya. “Ikhlas mambantu dan maagiah ka kawan-kawan yo Nak,” pesan Abak ketika mengantarkanku kuliah di Kota Padang, September 2007 lalu. Doaku, insyallah, selalu menyertai langkah Abak.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^