Skip to main content

Aku, Kamu, dan Kita Berlebaran




Setelah sebulan berpuasa, akhirnya lebaran menjemput. Rumah-rumah diramaikan dengan pernak-pernik, aneka minuman, dan kue-kue khas lebaran. Hampir semua dari kita bersuka cita. Tersenyum gembira. Kanak-kanak sibuk dengan baju baru mereka. Orang dewasa sibuk dengan minal aidzin mereka. Ya, semua sibuk dengan lebaran.
Lebaran, satu kata yang penuh dengan makna suka cita, besar, suci, dan dinanti-nanti. Kata ini di Tanah Air menjadikan negeri ini begitu sibuk dan sedikit bersusah payah. Lebaran, menjadikan kita sangat dekat dan menyatu. Ada semacam rasa yang tak bisa kita tampik untuk tetap tersentuh baik jasmani maupun rohani dengan orang-orang terdekat ataupun yang baru dikenal. Lebaran, semacam morfin. Membuat candu dan tak tersenyum gembiran jika ia menjemput.
Lebaran tahun 2011 ini kami bersua dengan keluarga besar. Sengaja, karena anak tante sedang ada pesta kecil-kecilan dan memang sudah dua tahun tak mudik ke kampung halaman. Ada tante yang mudik dari Ibu Kota, ada tante yang mudik dari Pekanbaru, dan kami sendiri mudik dari Mukomuko. Semua bermuara ke rumah nenek dan kampung Jambak. Semua menyatu dan saling melepas rindu. Berbagi cerita merupakan hal terpenting dan tak mungkin dilupakan. Mengisahkan perihal tentang rumah tangga, anak-anak, dan perekonomian masing-masing keluarga.
Nenek memiliki enam anak perempuan. Semuanya telah berkeluarga. Beliau memiliki 19 cucu dan 11 cicit. Kesemua cucu dan cicit itu, jika lebaran akan meramaikan kehidupan beliau yang semakin renta dimakan waktu. Di balik kehidupan itu, nenek memiliki kehidupan yang tak selamanya berjalan lancar, walaupun di usia senja ini. Rasa rindu kepada anak-anak yang berada di berbagai daerah, serta cucu cicit yang selalu menggemaskan, sering beliau ungkapan kepada kami. “Baa lah bantuak si Dila kini yon Nan?” Tanya nenek pada Ibu sembari melepas pandang ke jalanan hitam di depan rumah di Mukomuko. “Tu alah gadang dan tambah cadiak mah Mak,” jawab Ibu sambil tertawa, membayangkan Dila yang tentunya semakin besar dan mungkin tambah nakal.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...