Skip to main content

Dua Panggung Pelacur


Judul : Agama Pelacur
Dramaturgi Transendental
Penulis : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xviii + 200 halaman
Cetakan : Pertama, Oktober 2010
Harga : Rp 55.000,-
Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP


Salah satu fenomena sosial yang menyimpang –terutama dalam kaca mata agama dan budaya- sekaligus unik adalah dunia pelacuran. Jika mengingat satu kata ini, yang terbayang tentulah kehidupan malam dengan segala aktivitas seksual yang tidak hanya memalukan dan menjijikkan, tetapi juga merupakan kejahatan seksual dan hampir selalu mendapat tantangan dari beragam pihak. Perkembangan dunia pelacuran dewasa ini juga berjubel di Tanah Air. Tidak hanya di kota-kota besar, di kampung-kampung pun dunia esek-esek ini tumbuh subur.
Persoalan seksualitas sudah sangat lama diperbincangkan. Mulai zaman Yunani Kuno hingga zaman yang sebar IT sekarang. Perbincangan seksualitas selalu menjadi ide menarik dan mendapat tempat di mana pun juga. Tidak hanya di kalangan masyarakat bawah, kaum menengah, dan atas pun kerap kali membahas hal ini. Sesuatu yang tidak mengherankan jika dunia seksualitas –yang dulu tabu dibicarakan- sekarang justru menjadi persoalan atau ide-ide yang perlu dijelaskan dengan seksama.
Saat ini seks telah memasuki ranah publik. Sekarang ini orang membicarakan seks seperti orang membicarakan politik, bisa dimana saja dan kapan saja. Tidak hanya itu, seks pun bisa dipolitisir dengan berbagai alasan yang bisa ‘dilegalkan’. Apakah itu sebagai salah satu instrumen dalam menggaet banyak suara saat kampanye, terlepas nanti apakah ditolak atau diterima, maupun bidang lainnya. Tetap saja seks selalu diberi ruang untuk diperbincangkan atau dimanfaatkan.
Tidak hanya dalam bidang politik, dalam bidang ekonomi pun, seks menjadi salah satu komoditas di kawasan global yang menggiurkan. Perputaran uang begitu cepat hingga menjadikan seks sebagai salah satu bisnis yang banyak diminati orang-orang. Dalam hal ini seks menjadi sarana entertainment melalui beberapa media, seperti film porno, dan tentu saja melibatkan bintang film, rumah produksi, sutradara, jaringan peredaran, penonton, dan efek keuangan yang diperoleh nantinya.
Namun siapa sangka, di balik keremangan kehidupan pelacuran, pelacur itu sendiri mengalami dilematis dalam menjalankan perannya sebagai penghibur bagi pelanggan. Di satu sisi pelacur bertanggung jawab atas kehidupan selanjutnya secara ekonomi, baik anak dan keluarga, atau pun dalam ranah religiusitas dan tanggung jawabnya kepada Sang Khalik kelak. Dalam konteks ini, penulis menampilkan analisis dramaturgi transendental dalam menyikapi fenomena pelacuran yang terkesan sudah dilegalkan di negeri ini.
Konsep dramaturgi transendental menampilkan dua panggung dalam sebuah pertunjukkan. Panggung itu meliputi panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dunia pelacuran yang kerap dipandang sebagai dunia dengan ruang sosial yang jauh dari keberuntungan, mampu menampilkan ruang yang berbeda. Jika selama ini terdapat anggapan bahwa ruang pelacuran adalah ruang yang hampa agama -pada panggung depan- namun tidaklah sama dengan panggung belakang, yang justru para pelacur tetap menjalankan kegiatan beribadah, semisal beramal, salat, mengaji, berdoa, dan lainnya.
Kajian dramaturgi transendental mencoba memberikan warna baru tentang dunia pelacuran yang kerap dipinggirkan. Generalisasi yang acapkali dilabelkan kepada pelacur tidak selamanya memberikan pembenaran empiris. Sekurang-kurangnya ada yang berbeda dari pelabelan atau stereotipe yang dilekatkan kepada mereka. Penulis pun menjelaskan betapa indahnya memandang sebuah fenomena tanpa langsung memberikan sak sangka yang menjatuhkan atau merendahkan terlebih dahulu tanpa alasan yang kuat dan terpercaya.
Agama Pelacur yang ditulis oleh Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya ini, mengangkat dunia pelacur di Surabaya dan tempat-tempat lainnya di Pulau Jawa. Bermula dari penelitian lapangan yang melibatkan beberapa mahasiswa hingga menjadi sebuah buku menarik untuk disimak dan direnungkan. Walaupun pada beberapa sub judul terjadi repetisi cerita, seperti sejarah seksualitas sepanjang peradaban manusia, justru menjadi bahan memperdalam pemahaman pembaca bagaimana perkembangan seks di dunia dan beberapa kebudayaan kuno.

Comments

  1. Mungkin para pelacur yakin amal mereka bisa mengimbangi dosa-dosa mereka di akhirat nanti.

    Salam, Dan Azed.
    Berkunjung....

    ReplyDelete
  2. Ya bisa jadi. Tapi tentu ada yang lebih besar dan utama faktor yang menyebabkan mereka mengamini pekerjaan yang demikian.
    Terima kasih komentarnya,
    Salam kenal :D

    ReplyDelete
  3. Blog Kak Adek semakin keren se mah,,, semakin banyak postingannyo. Semangat kak...
    ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...