Skip to main content

Pandanwangi

Secepat kilat orang-orang membuka bungkusan mayat mungil itu. Sebelum sempat dikuburkan, bungkusan putih itu bergerak-gerak. Mata orang-orang tak henti-hentinya memelototi gadis mungil dalam kain kafan tiga lapis itu. Tangis bayi itu pun pecah seperti baru keluar dari liang ibunya. Ucapan-ucapan syukur pun menggema di pekuburan kampung yang tiba-tiba ramai.
"Oh gadisku, ibu sayang nak," kecupan-kecupan cinta menghujani si bayi dari ibunya yang lusuh dan pucat pasi. Kulit perempuan itu berubah cerah ketika mendapati bayinya hidup kembali. Ia kehabisan tenaga setelah lima kali pingsan sejak tadi malam. Tak kuasa menerima kepergian putri bungsunya setelah diserang pelasit.
Selama tiga hari tiga malam keluarga perempuan itu mengadakan syukuran. Semua orang kampung dijamu. Berbondong-bondonglah orang miskin di kampung itu datang. Selama ini mereka hanya makan ubi sekarang diberi makanan enak-enak. Anak-anak yatim diundang. Disuruh mengaji dan mendendangkan puji-pujian pada Sang Khalik. Sebelum pulang mereka pun diberi surat Juz 30, berisi ayat-ayat pendek yang acap dipakai dalam salat.
"Semoga gadisku tak diserang pelasit lagi. Lindungilah ia Tuhanku," mohon si perempuan dalam doa-doanya.
Sejak itu, perempuan dan suaminya pindah ke rumah keluarga besar. Di sana banyak orang. Ada kakak, ipar, ibu, bapak, pakde, bukde, mbah-mbah pengrajin batik, dan para keponakan. Setiap saat si gadis kecil akan berkawan, baik siang maupun malam. Rumah besar itu pun dijaga oleh lima lelaki dewasa selama 24 jam.
"Bapak telah menggaji mereka selama lima tahun ke depan. Kamu jangan cemas lagi. Pelasit itu takkan datang kemari. Lagian Mbah Karno juga sudah Bapak kasih tahu. Ia sedia menginang cah ayu," kata Bapak pada malam pertama perempuan itu menginap.
***
"Ibu, aku mau sekolah di sekolah tari. Tak mau jadi guru." Ucapku pada ibu. Aku tak tertarik menjadi seorang guru seperti ibu, mbah putri, dan dua orang kakakku. Saban hari mereka mengurusi anak-anak penuh ingus, dekil, dan tentu saja bandel. Seperti kakakku itu, sepulang sekolah ia langsung tidur. Tak sempat lagi mengepangkan rambutku. Tak mau lagi diajak jalan-jalan ke tepi sungai.
"Mbak capek, jalan-jalannya besok saja ya," kalimat itu selalu meloncat dari mulutnya ketika kuajak. Aku kesal dan cemburu. Ia lebih sayang anak ingusan itu daripada aku. Aku enggan di rumah. Aku lebih sering bermain ke rumah Sri, tetanggaku.
Sri pintar menari. Walau ia masih kecil, tapi tubuhnya gemulai sekali. Ia bisa menari Pendet dan sudah seminggu ini kemana-mana ia selalu membawa piring plastik kecil. Katanya ia sedang belajar menari piring. Entah tarian apa itu. Tapi Sri sangat ingin mempelajarinya. Katanya ia akan ke luar negeri untuk menari. Melenggang-lenggok di depan orang asing yang putih-putih, tinggi-tinggi, dan amis. Tapi Sri sangat menginginkannya.
Setiap Sri bercerita, aku hanya mendengar. Bagiku orang putih dan tinggi itu ya seperti bapak. Tapi bapak tidak amis, hanya bau temulawak. Bapak suka minum itu karena ibu sering membuatkannya. Aku pun putih. Rambutku seperti emas. Tapi tidak tinggi. Juga tidak amis dan bau temulawak. Aku suka memakai bedak ibu, baunya bau pandan dan membuat aku selalu ingin makan.
Mbah putri juga bau pandan. Malahan sanggulnya dihiasi daun pandan. Kata embah, karena rambunya sudah tipis dan pendek, untuk menyanggulnya mbah menambahkan daun pandan agar lebih kuat. Aku mengenali, jika seseorang mendekat dan berbau pandan, siapa lagi kalau bukan ibuku dan mbah putri. Kesukaan dua perempuan ini pun mewarisiku.
"Selain wangi, pandan membuat seorang gadis lebih ayu dan menggoda," kata mbah padaku sambil merapikan sanggulnya. Aku tak mengerti waktu itu.
***
Setiap tiga bulan sekali, kami berkeliling kampung. Manggung dari satu kampung ke kampung lain. Dengan perlengkapan seadanya, aku, Sri dan beberapa teman, menghibur masyarakat desa dengan tembang dan tarian. Biasanya pada musim-musim purnama dan terang bulan. Karena pada waktu-waktu itu, masyarakat tampak lebih senang dan bersemangat. Ini musim petani menghabiskan malam dengan tertawa, minum-minum, menari, serta pesta. Perempuan dan laki-laki jadi satu. Serta tak jarang sebagai ajang cari jodoh. Selebihnya tidak.
Aku mengenakan kebaya jaring ular merah dengan dada sedikit menantang. Ini kebaya sulaman mbah putri. Ia begitu paham dengan dunia panggung dan tubuhku. Katanya, aku punya raut manis dan menggoda. Campuran darah ibu dan bapak menelurkan aku sebagai kembang desa. Di bawah sinar rembulan, wajah dan tubuhku semakin menggoda. Belahan rokku, acapkali tersapu angin dan memperlihatkan betis putih bulir padi.
Sedang asyik-asyik menari, tiba-tiba seorang lelaki tua menghampiriku. Kulitnya berlipat-lipat dimakan waktu. Bajunya lusuh dan dekil. Awalnya aku tak mengacuhkan lelaki itu. Ketika mata kami beradu, ia mengedipku dengan mata kanannya. Aku masih acuh, seperti biasa menunduk dan tetap tersenyum ramah. Sudah biasa hal itu dilakukan oleh seorang bongkok seperti dia.
"Dasar tua keladi," gumamku dalam hati.
Tapi ia terus mendekat. Lebih dekat dan dekat. Hingga kini kami hanya berjarak sejengkal. Aku mulai gelisah. Menolak atau pamit ke belakang sangat tidak sopan. Sri, semeter di depanku semakin asyik dengan goyangan dan tembangnya. Sepertinya orang-orang tak menghiraukan kami, tepatnya aku.
"Cah ayu, Pandanwangi," sapanya. Aku kaget bukan kepalang. Kali ini tatapannya tak lepas dari tubuhku. Pandanwangi, orang-orang memang menyebutku begitu. Tapi tidak untuk lelaki tua ini.
"Kau mengingatkanku pada mayat cabang bayi yang hidup kembali di pekuburan 20 tahun silam," katanya sambil menyeringai.
Duk, detak jantungku. Wajahku berubah pucat. Gerakanku melambat dan tak jelas.
"Tetap menari," katanya sambil melengos.
"Kau hidup dengan tarian, begitu juga aku." Kata lelaki itu kemudian.
"Pakde siapa dan mau apa?" tanyaku.
"Aku ke sini hanya untuk nembang dan nari," sambungku cepat.
Lelaki itu tetap melenggak-lenggok ringan. Namun tatapannya lebih tajam.
"Hanya nembang dan nari?" ulangnya. Aku tak mengerti.
"Sejak dua tahun kau nembang dan nari, sejak itu sawah-sawah semakin kering. Ladang-ladang semakin sempit dan tandus. Kau pikir petani itu bekerja setelah mereka menari dan nembang semalam suntuk denganmu ha? Tidak. Mereka sibuk dengan tuak, judi, dan perempuan."
Aku belum paham. "Aku tak berbuat seperti itu Pakde. Sepertinya tidak." Kataku sambil memperhatikan orang-orang kampung yang semakin asyik menari, tertawa, dan minum-minum.
"Pandanwangi, kau seperti ibu dan mbah putrimu." Katanya kemudian, masih berjingkrak-jingkrak.
"Ibumu bersuamikan londo dan mbah putrimu bersuamikan raden. Kedua perempuan ini yang memperkenalkan kehidupan mewah dan liar di kampung-kampung kepada perempuan dan lelaki. Karena awalnya mereka gundik yang kemudian menguasai tanah kampung ini, cah ayu," geram lelaki itu.
"Kau lihat!' katanya tajam, ia tidak lagi menari. "Sawah-sawah tak menghasilkan lagi. Ladang-ladang tak bersisa. Namun mereka tetap makan bukan? Karena mereka bersabung, mencuri, dan menjual diri ke tempat banyak londo di kota-kota besar sana."
"Seharusnya kau sudah mati Pandanwangi agar kau tak mewarisi tabiat ibu dan mbahmu." Kata lelaki itu dingin.
"Kau siapa?" geramku. Dadaku turun naik menahan amarah.
"Aku satu-satunya orang yang ingin menyelamatkan kampung-kampung," katanya sambil memegangi leherku. Mata bulatnya menyorotku dengan tajam. Tampangnya lebih keras dari sebelumnya. Air mukanya semakin keruh, seakan-akan ia melihatku seperti babi besar betina yang telah memporak-porandakan ladangnya.
Aku menepiskan tangannya. Berlari ke belakang panggung. Berlindung dan mencari hawa sejuk. Ngos-ngosan. Bukan karena kehabisan napas, tetapi cemas bercampur takut. "Setan mana itu?" batinku.
Tiba-tiba tangan kasar mencekikku dari belakang. Aaaggggrrrrrrkkkk. Aku sempat berontak dengan tangan, kaki, mata, dan hatiku. Namun, itu tak membantu. Pakde terlalu kuat. Lamat-lamat aku masih mendengar gendang ditabuh, baying Sri semakin cepat meliuk-liuk, dan orang-orang terbahak-bahak.
Sebelum gelap, aku masih mengingat sepotong kata, "Pakde."

2011 Padang, 4.31 AM

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...