Skip to main content

Budaya Minoritas di Era 2.1



ADA kecenderungan ‘baru’ dalam arus globalisasi terhadap budaya termasuk di dalamnya identitas suku bangsa, bahwa budaya minoritas semakin mendapat tempat di kalangan individu –yang mayoritas- baik sebagai suatu kekayaan budaya ataupun sebagai objek eksotik atau kajian. Budaya minoritas semakin hari semakin mewarnai informasi-informasi di media massa. Ini sebuah kemajuan? Atau cara tersendiri bagaimana media menampilkan budaya minoritas dengan segala keunikan, kebesaran, atau bahkan ‘keterbelakangan’ budaya itu yang berujung pada eksplorasi budaya menjadi sebatas komoditas media belaka –tanpa pemberdayaan. Entahlah!

Menarik ketika VOA Indonesia memberitakan bagaimana suku Aborigin di Australia ditampilkan meskipun itu hanya sebatas drama televisi. Tak sampai di sana, sudut pandang yang dipakai pun saya pikir bias dengan berbagai hal. Misal, ditampilkan bahwa kehidupan suku ini penuh dengan kekerasan, kemiskinan, dan alkohol –tentu saja pada pandangan sepihak si pembuat film. Berita ini ditampilkan seolah-olah tidak ada tendensi apa-apa terhadap suku Aborigin –yang tentu saja tidak semodern kaum modern kebanyakan. Penggambaran cerita dan karakter saya pikir belum mewakili sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi dan menjadi budaya ‘luhung’ dari suku tersebut.
Berikut saya kutipkan berita Budaya Aborigin Muncul dalam Drama Televisi (Senin, 5 November 2012) :

SYDNEY — Drama mengenai suku Aborigin di Australia ditayangkan untuk pertama kalinya dalam televisi nasional di negara tersebut. Drama berjudul Redfern Now itu mengeksplorasi realitas narkotika dan obat-obatan terlarang serta kemiskinan di sebuah distrik di kota Sydney, dan merupakan bagian dari kebangkitan budaya Aborigin di Australia.

Redfern Now adalah drama televisi Australia pertama yang diproduksi oleh penulis dan sutradara dari suku asli, yang bekerja sama dengan penulis naskah pemenang penghargaan dari Inggris, Jimmy McGovern.

Serial enam bagian tersebut menampilkan aktor yang sebagian besar orang Aborigin. Perlu dua tahun untuk membuat film tersebut dan sebagian dana diperoleh dari pemerintah Australia.

Kritikus televisi David Knox mengatakan serial itu merupakan penggambaran realistis dari kehidupan di Redfern, sebuah daerah perumahan di dalam kota Sydney.

“Salah satu yang paling mengesankan saya mengenai serial ini adalah bahwa dalam di tengah kesulitan – kemiskinan, alkoholisme atau kekerasan, ada cinta tanpa pamrih yang mengedepan,” ujarnya.

Redfern memiliki sejarah yang kelam. Ada berbagai kerusuhan pada 2004, dan meski kemiskinan dan ketimpangan terus bertahan, para tetua adat mengatakan serial televisi tersebut akan menjadi sumber kebanggaan masyarakat suku asli.

Serial tersebut ditayangkan oleh stasiun ABC.

Produser Rachel Perkins mengatakan bahwa Redfern Now mengikuti kesuksesan artistik suku Aborigin baru-baru ini dalam film, tari dan teater.

“Ada banyak investasi untuk sampai di sini. Dan momen ini harus ditandai dan dirayakan karena ditayangkannya serial ini pada slot utama di ABC menunjukkan konten yang bagus, berkualitas dan berbobot, dan termasuk konten dan pembuatan film yang paling baik yang ada di Australia saat ini,” ujar Perkins.

Redfern Now sebagian diproduksi oleh tim Aborigin yang menghasilkan film Australia yang banyak dipuji, The Sapphires. Dirilis awal tahun ini, film tersebut dan mengisahkan empat perempuan muda Aborigin yang ditemukan oleh kompetisi pencari bakat bernyanyi di pedalaman Australia dan kemudian menghibur pasukan AS di Vietnam.

Didasarkan pada kisah nyata, para penyanyi tersebut diambil dari pedalaman dan dinamakan The Sapphires, serta dianggap sebagai padanan lokal kelompok asal Amerika yang terkenal The Supremes.

Kelompok tari dan seniman suku asli telah menikmati keberhasilan pada tahun-tahun terakhir, seiring penghargaan yang lebih dalam dari Australia terhadap warisan yang berasal dari lebih 50.000 tahun lalu. Hal ini telah membawa manfaat. Produksi Redfern Now membuka 250 lapangan pekerjaan untuk orang Aborigin di Sydney.

Suku Aborigin merupakan 2 persen dari populasi Australia, dan sejauh ini merupakan kelompok yang paling terpinggirkan, mengalami tingkat kemiskinan, pengangguran dan kesehatan buruk yang tinggi.


Saya pikir, kajian bagaimana pemerintah yang berkuasa dan tentu saja bersama dengan media mengonstruksi suku-suku yang minoritas ditampilkan, dilombakan, dianalisis, dikaji ulang, dan coba didefinisikan kembali, adalah salah satu cara untuk ‘memanusiakan’ mereka. Tidak bermaksud lebay, dan tidak hanya VOA Indonesia yang memberikan berita seputar budaya minoritas di Indonesia atau di dunia, media cetak dan elektronik lain juga berbuat serupa. Kepedalaman mereka diteliti, dibuat hipotesa, kemudian menjadi produk dari pengetahuan yang kelak –lebih banyak- dikomersialkan.

Bagaimanapun juga, media tidak berdosa sepenuhnya. Pun dengan media kehadiran budaya minoritas justru tengah diperjuangkan; baik budaya yang mereka miliki maupun keberadaan mereka secara fisik dan simbolik sedang mulai diakui dan dihormati. Ini bisa dikatakan dampak positif dari peran besar media, meski dampak lain juga perlu dipertimbangkan.

#foto dari VOA Indonesia


Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he