Skip to main content

‘Melawan’ Globalisasi dengan Perspektif Poskolonial*



Jika memang ingin ‘melawan’ arus globalisasi, yang dinilai menghegemoni dan mendominasi (menghomogenisasi sekaligus mengheterogenisasi justru pengaruhnya hampir sama-sama kuat) ‘identitas’ (baca; klaim hirarki kemurnian budaya salah satunya kesenian lokal/tradisional) bangsa (nation-state), saya menawarkan perspektif poskolonial. Sebelumnya, (kita coba menyepakati) perspektif ini tidak melulu berbicara tentang penjajahan dan si terjajah, dalam konteks masa kolonial tempo dulu. Akan tetapi, dalam konteks bagaimana globalisasi ‘menjajah’ bangsa-bangsa (nation-state) di dunia (tentunya dengan kekuatan kapitalisme), mengerucup pada Indonesia, juga penting didialogkan. Perspektif ini memang terkesan serba ‘agak’; agak melawan (si penjajah; globalisasi) bahkan dalam pendapat lain justru agak meneguhkan hegemoni globalisasi itu sendiri (baca; oleh Marxian).

Semangat perspektif poskolonial menawarkan ‘perlawanan’ yang tidak melulu menggempur dengan otot, tapi justru bermain pada tataran ideologi (Bhabha dalam Gandhi, 2006). Sebagai contoh, dalam konteks berkesenian, anda berkesenian dalam kondisi selalu dibayang-bayangi oleh sebuah regime of truth tentang standar seni yg. adiluhung (high culture) dan seni bukan adiluhung (low culture) kemudian itu harus dijalankan, metode dekonstruktif perlu dipakai. Apa iya seni yg. adiluhung itu harus pure dan bebas dari tangan-tangan ‘kreatif’ yg. justru dinilai mencemari keadiluhungan seni tersebut? Regime of truth adalah bisa institusi, personal, yang memaksa pihak di bawahnya mengikuti segala pakem yang telah digariskan dan tak ada tawar menawar di sana. Orde-orde terdahulu banyak mewarisi model macam begini. Di tengah gempuran globalisasi, warisan ini kerap dikritisi atau bahkan menjadi olok-olok, khususnya oleh kaum postrukturalisme dan postmodernisme.

Dalam berkesenian, perspektif poskolonial memberi ruang untuk membaca yang estetis secara ideologi dan politik. Di balik keindahan tersimpan banyak cerita. Di balik cerita ada kepentingan. Di balik kepentingan ada kekuatan. Di balik kekuatan ada hasrat untuk menundukkan. Di balik ketundukkan ada yang dirugikan. Ada yang dirugikan, ada yang diuntungkan, terjadi ketidakadilan. Ketidakadilan selalu melahirkan chaos, minimal protes, kritik, atau bahkan revolusi. Nah, sampai dimana subyek mampu membaca kekuatan untuk menundukkan ini di dalam berkesenian?
Jika hanya membaca keindahan sebatas keindahan, meneliti kesenian hanya untuk mengulang-ulang atau bahkan meneguhkan yang sudah ada, itu artinya isi tak lebih dari sangkar. Subyek tak melakukan apa-apa, kecuali mengetik yang sudah ada. Padahal, anda (termasuk saya) adalah subyek-subyek yang tidak menutup mata terhadap masa depan. Obsesi masa depan selalu ada. Masa depan, kata Goenawan Mohamad, adalah negeri entah. Sebagai negeri entah, kita tak tahu apa yang akan terjadi. Di sini, setiap orang berhak melakukan ekplorasi. Inilah ruang yang ditawarkan oleh poskolonial, ruang untuk bernegosiasi dan berkontestasi; ‘melawan’ globalisasi dengan cara-cara kreatif atau bahkan dengan ‘mengejek’ (mockery). Dengan syarat cara pandang perlu didekonstruksi sebelum melancarkan aksi?!

Globalisasi yang Menyambar-nyambar

Indonesia sebagai negeri jajahan sekaligus pasar potensial oleh negara-negara industri kapitalis, Eropa barat dan Amerika termasuk Cina, jika tak mungkin maka akan sangat sulit lepas dari pengaruh globalisasi. Sebagai negeri jajahan, ada baiknya jeli melihat bahwa Indonesia takkan pernah bebas seutuhnya dari pengaruh penjajahan dalam bentuk apapun. Ini bukan soal waktu, ini soal bagaimana pengaruh kolonial masih terasa sampai sekarang. Arus globalisasi yang menempatkan Indonesia sebagai target ‘jajahan’ adalah faktanya.

Pengaruh globalisasi tidak dilihat hanya sebatas pengaruh dalam bidang ekonomi. Tapi juga dan tak kalah krusial adalah pengaruh dalam kebudayaan. Dalam kebudayaan ini, lagi-lagi menurut Bhabha, negeri jajahan, akan sangat sulit lepas dari kultur si penjajah. Klaim-klaim keautentikan budaya menjadi rancu dan tak dapat dipertahankan. Apalagi di tengah derasnya globalisasi, teknologi yang semakin canggih, membuat setiap orang mampu dan tak ada beban menampilkan, memainkan, atau bahkan mengklaim budaya asing sebagai milik sendiri.

Dalam kaca mata Bhabha, budaya merupakan produk hybrid. Budaya menjadi gabungan dari berbagai aspek yang selalu berubah-ubah, tidak stabil. Relasi sosial, wacana, serta pengalaman-pengalaman terdahulu berjalin berkelindan, saling mempengaruhi, kemudian membentuk suatu formasi baru dalam kebudayaan. Begitupun juga dengan kesenian dan berkesenian. Sebagai produk hybrid, subyek di dalamnya juga tak stabil. Setiap orang memahami budaya dengan pemahaman yang tidak sama.

Apa implikasi jika ngotot mengatakan kalau budaya, termasuk di dalamnya kesenian, adalah stabil, autentik? Klaim-klaim autentik, asli, pure dst. ini tidak lebih menghantarkan kepada sikap narsistik atas budaya sendiri. Sikap menonjolkan dan membesar-besarkan bahkan menegas-negaskan atas milik sendiri. Semangat emansipatoris (memerdekakan) tidak ada, yang ada justru membatasi dan menganggap manusia sebagai makhluk pasif yang tak tahu apa-apa.

Agaknya mahasiswa ISI khususnya dari Etnomusikologi telah melakukan kreatifitas seni yang beragam. Semangat emansipatoris pastilah sudah dikembangkan di sini. Perihal apakah itu mendapat apresiasi positif atau tidak, itu urusan dialog dengan regime of truth di kampus ini. Masalah ‘melawan’ globalisasi, perspektif poskolonial menawarkan bagaimana subyek tidak harus ‘membebek’ kepada globalisasi dan pada bagian lain juga tak anti dengan globalisasi. Inilah ruang “antara” tempat dimana subyek ‘bermain kucing-kucingan’ dengan globalisasi.

Referensi:
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

*Bahan diskusi ilmiah di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Rabu, 24 Oktober 2012

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg