Skip to main content

SKS dan Revolusi

Sejak diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS) bagi mahasiswa dimulai sekitar tahun 1978 hingga sekarang, kegiatan mahasiswa di kampus memang lebih banyak terfokus bagaimana menuntaskan beban SKS tersebut dan segera tamat. Beban SKS, untuk mahasiswa SI minimal 140-160, cukup membuat mahasiswa tak bisa berpaling ke bidang lain selain akademik. Mahasiswa diikat dan didera dengan bagaimana menuntaskan seratusan lebih SKS tersebut dalam rentang waktu 8 hingga 14 semester, yang tentunya dengan nilai IPK atawa predikat memuaskan. Kalau tidak, drop out pun menunggu.
Alhasil kerja mahasiswa selama kuliah hanya belajar dan segera mencapai target kelulusan. Padatnya jadwal kuliah serta bejibun tugas akademik semakin memberi jarak mahasiswa dengan kegiatan-kegiatan sosial kampus dan kegiatan berorganisasi. Mahasiswa harus berpikir seribu kali untuk ikut dalam sebuah organisasi, apalagi organisasi berbasis pergerakan. Mereka tak lagi punya waktu banyak untuk mengurusi fenomena masyarakat. Hingga sampai saat ini terkesan pergerakan mahasiswa mandul jika dibandingkan dengan masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Kesibukan belajar seolah-olah mematahkan sense of social mahasiswa terhadap realita di masyarakat. Pemikiran-pemikiran mahasiswa cenderung pragmatis dan lena dengan keadaan yang ada. Peran mahasiswa sebagai agent of change, control social, dan iron stock yang digadang-gadangkan juga habis dilumat oleh kerasnya tuntutan akademik di kampus. Padahal sejarah mencatat bagaimana gerakan mahasiswa, baik pada penggulingan Orde Lama tahun 66, gerakan mahasiswa 74, dan gerakan mahasiswa dalam rentang 80-an hingga yang teranyar Reformasi 98 lalu, mampu membangun people power yang meruntuhkan tatanan otoriter penguasa. Hal ini bisa menjadi semangat baru bagi mahasiswa untuk menghidupkan kembali pergerakan-pergerakan dan mengkritisi serta meluruskan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
SKS ini dinilai banyak pihak, katakanlah itu aktivis serta pengamat pergerakan mahasiswa, salah satu cara pemerintah mengerdilkan kegiatan-kegiatan atau pergerakan mahasiswa untuk lebih peduli dan ngeh dengan berbagai kebijakan serta manuver dari pemerintah. Di sisi lain, tak jarang pemerintah memandang suara mahasiswa adalah suara yang selalu merongrong jalannya roda pemerintahan. Oposisi kelas kakap, namun kadang cukup mudah untuk dilumpuhkan dengan berbagai intrik, baik politik maupun lainnya.
Meskipun demikian, bebas SKS yang jauh semakin lebih besar, hendaknya bukanlah penghalang bagi mahasiswa untuk selalu eksis dalam pergerakan yang dikontruksi dengan masif. Para pendahulu telah menunjukkan taring, bagaimana peran mahasiswa mampu merubah tatanan pemerintah secara fundamental di negeri ini. Pledoi-pledoi akan beratnya beban kuliah, tuntutan ini itu yang bukan berlandaskan asas sosial dan rakyat bukanlah ide jitu untuk memalingkan muka dari peran mahasiswa seyogyanya. Tatanan demokrasi bagi Indonesia baru yang diidam-idamkan telah diusung, kini tinggal bagaimana mahasiswa mengeksekusi agar harapan dan impian ini tercapai. Atau diperlukankah sebuah revolusi?

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...