Skip to main content

Jilbab: Religiusitas, Pilihan Busana, Hingga Pluralisme


Judul : Psychology of Fashion; Fenomena Perempuan [Melepas] Jilbab
Pengarang : Juneman
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tebal : xxxvi + 398 halaman
Cetakan : Pertama, Juli 2010
Harga : Rp 72.500,-
Resensiator : Adek Risma Dedees, mahasiswa Sastra Indonesia BP 2007 UNP


Ini salah satu buku yang mengupas secara tuntas fenomena perempuan Islam melepas jibab. Jika buku senada sebelumnya lebih banyak dikupas oleh penulis yang ahli hukum Islam dan biasanya dipandang dari perspektif Islam, berbeda dengan Juneman yang justru membahasnya dari sudut pandang psikologi. Pembahasannya tentu berbeda pula. Memahami agama dari banyak sudut pandang jelas akan lebih memperluas wawasan serta menuntun seseorang untuk lebih bijak dan arif dalam merespon setiap putusan, sifat, dan sikap pemeluk agama terhadap agamanya.
Meningkatnya jumlah perempuan Islam memakai jilbab di Indonesia, tidak terlepas dari peran para ulama yang mengampanyekannya kesetiap penjuru kota, desa, dan kampung. Semakin hari jumlah ini semakin banyak. Tidak sedikit pula para selebritis menggunakan jilbab di layar kaca. Entah memang akan selalu memakai jilbab atau hanya untuk saat-saat tertentu saja.
Berbagai alasan pula perempuan Islam memakai jilbab, apakah itu karena alasan teologis, aturan pemerintah daerah, psikologis, pilihan busana, hingga kepentingan politis lainnya. Setiap orang tentu bebas menantukan pilihannya, termasuk di sini apakah seseorang akan menggunakan, menanggalkan, atau justru tergantung konteks dimana seseorang akan menggunakan jilbab dan tidak berjilbab. Setiap pilihan atau putusan mengandung resiko tersendiri. Bagaimana pun juga, menghargai setiap putusan dan pilihan tersebut harus dihormati dan dihargai dengan arif pula.
Tidak sedikit perempuan Islam memutuskan berjilbab setelah melalui perjuangan yang panjang dan memahami kaidah Islam kemudian memutuskannya itulah pakaian yang diwajibkan Islam. Sebagian lagi memakai jilbab karena Peraturan Pemerintah Daerah yang mengharuskannya memakai jilbab. Selain itu, memakai jilbab juga dikarenakan alasan psikologi, orang-orang di sekitarnya memakai jilbab sehingga merasa tidak nyaman jika tak berjilbab. Ada lagi berjilbab dengan alasan modis, lebih anggun, dan cantik jika berjilbab. Jangan heran, masa sekarang semakin banyak dibuka toko-toko busana muslim dan butik yang memamerkan pakaian muslim dengan trendi. Sementara itu, berjilbab dengan alasan politis sebagai pemenuhan akan tuntutan kelompok Islam tertentu yang fanatik dengan simbol-simbol agama.
Menurut Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., A.P.U, pendiri Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) Departemen Agama (2008), membagi pendapat ulama ke dalam tiga kelompok. Pertama, pendangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangan, bahkan juga bagian mata. Kedua, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian muka dan tangan. Ketiga, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah salat dan thawaf. Di luar itu, perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bagi kelompok ini bukanlah aurat sehingga tidak perlu ditutupi.
Pandangan di atas merupakan ijtihad dari para ulama. Ketiga pandangan itu sama-sama merujuk kepada kitab suci Al-quran dan sama-sama mengklaim diri sebagai pandangan Islam yang benar. Perbedaan pandangan tentang busana perempuan dipengaruhi oleh perbedaan pandangan atas perbedaan batasan aurat perempuan. Sebagai hasil ijtihad, pandangan tersebut relatif dan nisbi, serta dapat diubah, jadi bisa saja benar dan bisa saja salah.
Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat berbagai pengalaman perempuan Islam yang memakai maupun menanggalkan jilbabnya. Berbagai pula alasan mereka memutuskan pilihan tersebut disertai dengan pemikiran ilmiah mereka. Sang penulis, seorang sarjana psikologi, memandangnya dalam sudut psikososial filosofis yang unik, berbeda, dan menarik untuk disimak.
Alumnus Universitas Indonesia ini juga menampilkan kisah-kisah menggugah bagaimana pergulatan kepercayaan seorang perempuan Islam yang taat dan fanatik dengan agamannya kemudian dengan sikap terbuka menanggalkan jilbabnya. Tari, Intan, Wina, dan Lanni adalah bagian kecil dari perempuan Islam yang sebelumnya taat berjilbab kemudian memutuskan menanggalkan jilbabnya dengan berbagai alasan. Mulai dari latar belakang keluarga yang agamais, sekuler, pluralis, hingga biasa-biasa saja.
Membaca kisah empat perempuan Islam dalam buku Juneman ini menggugah kita bagaimana memandang dan menghargai putusan dan pilihan orang lain dengan lebih arif dan bijak. Seseorang yang tidak berjilbab belum tentu memikili moral buruk dan tidak beragama, begitu juga sebaliknya, perempuan berjilbab. Tari lebih memilih menjilbabkan hatinya daripada badannya. Intan memandang jilbab sebagai salah satu keberagaman manusia di Indonesia dan dunia, Wina dan Lanni justru merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta ketika telah menanggalkan jilbabnya.
Buku ini selain membahas bagaimana perempuan Islam menanggalkan jilbab dalam perspektif psikososial, juga menyuguhkan berbagai kisah dan pendapat dari kalangan yang berbeda pula. Afrizal Malna, penyair, memandang agama akan lebih indah ketika mampu memberi ruang terhadap konflik-konflik, seperti fenomena menanggalkan jilbab, sebagai perjalanan otensitisitas keimanan seseorang. Buku ini tidak relevan untuk dinilai ‘bagus’, ‘buruk’, ‘keliru’, ‘menyesatkan’, atau sebagainya, namun jauh lebih penting digunakan sebagai bahan dialog secara kontinu tentang fenomena memakai dan melepas jilbab di sekitar kita.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...