Skip to main content

Menjadi Pekerja Sosial Profesional

Menjadi pekerja sosial bukanlah hal mudah. Apalagi menjadi pekerja sosial profesional yang kredibilitasnya dapat diandalkan dalam pemecahan masalah di masyarakat. Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Departemen Sosial (Depsos) melakukan berbagai upaya agar mampu melahirkan pekerja-pekerja sosial profesional serta pantas mendapat sertifikasi.
Menjadi pekerja sosial profesional dibutuhkan tiga penguasaan kompetensi dalam mewujudkan pekerja sosial yang mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Tiga kompetensi tersebut yakni, pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai (value).
Seorang pekerja sosial harus memiliki pengetahuan yang luas dan komprehensif. Pengetahuan ini tidak hanya dari bidang pendidikan awal seorang pekerja menempuh pendidikannya. Namun juga dari bidang lain yang berkaitan dengan keprofesionalan pekerja sosial. Pengetahuan ini merupakan modal awal bagi pekerja sosial untuk menanggapi dan mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat. Tanpa pengetahuan yang luas dan komprehensif, seorang pekerja sosial bukanlah apa-apa.
Penguasaan kompetensi kedua yakni keterampilan. Keterampilan tak kalah pentingnya dari penguasaan pengetahuan. Seorang pekerja sosial diharuskan memiliki keterampilan yang cukup dalam menangani berbagai kondisi di masyarakat kelaknya. Semisal, dalam kondisi terjadinya bencana alam, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan lainnya. Keterampilan dalam menangani berbagai kondisi tersebut merupakan tantangan sekaligus menjadi sesuatu yang patut bagi pekerja sosial.
Sedangkan penguasaan kompetensi terakhir yakni nilai. Nilai bisa disebut etika, affektif, sopan santuan, serta tata susila bagi seorang pekerja sosial. Dalam menjalankan pekerjaannya seorang pekerja sosial tak boleh melenceng dari nilai-nilai yang telah menjadi kesepakatan masyarakat atau pun sebagai etika tersendiri bagi pekerja sosial. Nilai-nilai yang harus dimiliki seorang pekerja sosial tentulah tidak bertentangan dengan tata nilai, kebiasaan, serta tata hukum dimana ia bekerja. Karena jika seorang pekerja sosial tak mampu menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, secara langsung ataupun tak langsung masyarakat bukan merasa dibantu tetapi justru sebaliknya.
Ketiga kompetensi ini akan sangat mendukung kinerja dan keprofesionalan seorang pekerja sosial. Bagaimana seorang pekerja sosial mampu mengayomi masyarakatnya jika tak memiliki ketiga kompetensi tersebut. Padahal kompetensi-kompetensi tersebut akan mampu melahirkan kepercayaan diri bagi pekerja sosial terhadap profesinya hingga meningkatkan kinerja pekerja sosial. Dengan kompetensi ini pekerja sosial mampu memelihara personalnya dengan baik sehingga kinerja secara professional juga tercipta dengan mudah.
Sekarang ini, tidak sedikit lembaga-lembaga kesejahteraan sosial baik dari yang langsung diwadahi Depsos ataupun tidak masih banyak pekerja sosial yang dimiliki lembaga tersebut kurang profesional. Imbasnya masyarakat setempat tidak mengetahui dan tidak memanfaatkan peran lembaga-lembaga sosial dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Peran lembaga kesejahteraan sosial yang masih belum maksimal termasuk di sini peran pekerja sosial, mengakibatkan masyarakat yang tengah dilanda permasalahan lari ke ranah hukum untuk menyelesaikannya. Padahal peran lembaga sosial dan pekerja sosial lebih banyak di sini. Lembaga kesejahteraan sosial dan pekerja sosial mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, konseling, advokasi, dan berperan sebagai teman kepada masyarakat yang sedang mengalami permasalahan sosial. Akan tetapi hal ini belum tercipta dengan memuaskan.
Dalam hal ini, melalui Radio Republik Indonesia, Depsos mencoba memberikan arahan dan program-program yang dibentuk untuk mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan dalam rangka peningkatan sumber daya pekerja sosial juga dilakukan. Menambah kualitas pengetahuan, bobot keterampilan, serta nilai yang semakin dikukuhkan dalam menjalankan profesi sebagai pekerja sosial menuju keprofesionalan yang nantinya akan bersertifikasi.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg