Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2013

Nilai Gunakan Air Kedua

AGAKNYA, tidak semua orang pernah mengalami musim kering bertubi-tubi seperti yang pernah kami alami di salah satu daerah pinggiran di Bengkulu. Sekitar satu dasawarsa lalu, di setiap musim kemarau, jika anda berkunjung, anda akan menyaksikan warga berbondong-bondong menenteng jerigen dan ember di kiri kanan mereka. Besar kecil, tua muda, laki perempuan menuju pusat dimana dahaga dan kelangsungan hidup harus tetap terjaga. Ialah Sungai Manjunto, sungai terpanjang dan terbesar yang membelah beberapa daerah di provinsi ini. Sungai inilah penolong utama kami di musim kemarau. Dan keluargaku adalah ‘pelanggan’ utama dari sekian banyak ‘pelanggan’ yang menggantungkan hidup pada sungai ini di musim kering. Jangan ditanya apakah air sungai ini layak dikonsumsi dan higienis. Bagi ibuku, selama air ini jernih dan tak berbau, selama itu pula ibu tak menghiraukan apa-apa. Ada yang menarik dari cara ibuku memanfaatkan air di musim kering. Dengan imek-imek (baca; sedikit-sedikit) ibu menuangka

[muse] pembunuh jalang ialah sunyi!

memasuki musim libur begini, satu yang kutakutkan, sepi. hampir setiap orang kembali ke rumah dimana mereka dilahirkan dan dibesarkan. berjumpa ibu dan ayah, adik kakak, saudara, teman kecil, dan para tetangga yang selalu menarik dicermati. pun dengan perjalanan menuju tempat asal menjadi moment yang tak ingin begitu saja dilewatkan. seperti tiga tahun silam. aku lebih memilih selalu membuka mataku sepanjang perjalanan ketimbang membaca buku atau tidur. karena selalu terjaga dalam perjalanan bagiku menjadi babak-babak awal sebelum berlabuh ke pelukan ibu. saat ini musim itu kembali datang. ya, satu problematik bagiku dalam menempuh pendidikan: aku benci libur. meski kadang aku tak kalah bahagia jika selalu banyak libur. karena dengan libur teman sekampus jadi berkurang, pustaka juga ogah-ogahan meladeni, kampus beradik kakak dengan kuburan, acara-acara juga berkurang, tidur menjadi alasanku untuk malas beraktivitas, dan sepi mencekam dimana-mana. lumayan kompleks kan jika libur itu

Karena HIV/AIDS Membuatmu Sakit Berlipat-lipat

ODHA di Mata Publik INDONESIA masa kini masih menilai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai ‘benalu’ dan pembawa virus mematikan di tengah masyarakat. ODHA dalam banyak kasus dianggap ‘pantas’ dan ‘wajar’ mendapat perlakuan diskriminasi sebagai ‘pamrih’ atas ‘dosa-dosa’ mereka. Perlakuan diskriminasi ini bermacam-macam bentuknya. Seperti dikucilkan, dihina, disumpahi, disyukuri, hak-hak sosial dan pribadi mereka dicabut, bahkan -secara tidak langsung- dipercepat untuk dilenyapkan dari tengah lingkungan. Ironisnya, perlakuan ini tidak hanya datang dari orang-orang di luar ODHA, bahkan datang dari pihak keluarga sendiri. Kenapa? Karena sebagian besar dari kita tak siap bahwa ada penyakit yang namanya HIV/AIDS yang mematikan, serta sama sekali tak pernah terbayangkan keberadaan ODHA bisa ada di depan kita. Konstruksi ODHA yang lemah, sakit-sakitan, hidup nan sunyi, dan hopeless ditampilkan kepada publik melalui beragam media. Bisa dalam bentuk liputan berita di sebuah panti rehabilit

Narasi Kecil dan 'Jeratan Narsistik' Kedaerahan

ADA kecenderungan pada beberapa daerah, pemuda setempat mengalami ‘kesadaran’ bahwa para leluhur mereka adalah juga pejuang yang tidak main-main dalam memerdekakan negeri dan bangsa ini. ‘Kesadaran’ ini muncul karena banyak faktor. Salah satunya ‘bosan’ mendengar bahwa pejuang-pejuang negeri ini seolah-olah berasal dari ‘daerah dominan’ yang memerintah negeri dan bangsa ini (baca; sejarah versi rezim berkuasa). Tidak bermaksud rasis, tapi kuasa Jawa, budaya Jawa, dan konstruksi sejarah versi orang-orang Jawa sekian puluh atau ratusan tahun, tak dapat ditampik telah ‘membenamkan’ nama-nama pejuang yang dianggap kecil di daerah luar pulau Jawa. Dan yang menarik, beberapa orang Jawa saat ini –dalam beberapa kesempatan- mengaku ‘insyaf’ bahwa narasi besar sejarah memang ‘dikuasai’ oleh etnis mereka, dan itu tidak selalu membawa kebaikan dan kemaslahatan. Agaknya, peringatan lahirnya PDRI sebagai salah satu narasi kecil yang berpengaruh terhadap kebangsaan ini adalah salah satu bentuk poli