Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2010

Miras Oplosan di Balik Jamu Tradisional

Hampir setiap bulan nyawa pemuda melayang sia-sia dikarenakan mengonsumsi minuan keras (miras) oplosan di tanah air. Baru-baru ini tak kurang 12 pemuda meninggal setelah menenggak miras oplosan di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Tidak hanya itu, rentang waktu Mei hingga Agustus 2010, di Cirebon meninggal 12 orang, di Blitar meninggal 9 orang (Pro 3 RRI, 25 Agustus 2010), dan masih ada beberapa korban lagi meregang nyawa ataupun sekarat di rumah sakit setelah menenggak minuman ini. Miras oplosan adalah racikan atau campuran yang kebanyakan dari jamu tradisional -ada juga miras dicampur bodrex- kemudian ditambah alkohol dengan kadar hanya dikira-kira oleh si penjual. Produk ini dibuat secara mandiri oleh perorangan ataupun kelompok di rumah (home industry). Tak ada pelatihan-pelatihan khusus sebelumnya. Peracik hanya mengira-ngira takaran alkohol yang akan dicampur dengan jamu, apakah itu jamu pegal linu, jamu kuat, ataupun lainnya. Bagi masyarakat awam, yang pengetahuan tentang kesehatan

Giliran Pulau Dewata ‘Memberontak’

Judul : Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi Pengarang : Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA. Penerbit : LKiS Yogyakarta Tebal : xxvi + 550 halaman Cetakan : Pertama, Juni 2010 Harga : Rp 120.000 ,- Resensiator : Adek Risma Dedees, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia BP 2007 UNP Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memerdekakan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak asing lagi terdengar di telinga kita. Begitu juga dengan Gerakan Papua Merdeka (GPM) di Pulau Kangguru tersebut. Beberapa tahun silam sayup-sayup terdengar Gerakan Riau Merdeka (GRM), motifnya sama, ingin memerdekakan diri dari NKRI. Pascameletusnya Bom Bali I Oktober 2002 di Legian Kuta, slogan Ajeg Bali riak-riak muncul ke permukaan. Apakah Ajeg Bali sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya? Istilah Ajeg Bali mengandung makna pejantan dan bermuatan militeristik. Berawal dari sikap nasionalisme yang terus dikumandangkan pada zaman Orde Baru oleh Presiden Soeharto. Pada zaman ini identit

Berbagi Itu Menyenangkan

Rino dan Eko sejak kecil sudah berteman. Rumah mereka berdua pun saling berdekatan. Setiap hari mereka ke sekolah dan bermain bersama. Tidak hanya di rumah, di sekolah pun juga bersama. Mereka dekat seperti adik dan kakak. Ibu Rino dan Ibu Eko saling berkunjung dan akrab seperti Rino dan Eko pula. Suatu hari Rino dibelikan oleh ayahnya berbagai macam permainan. Ada mobil-mobilan, ada kereta api, dan pedang ksatria. Rino sangat senang dengan pemberian ayahnya itu. Ia lalu menceritakan hal tersebut kepada teman-temannya di sekolah termasuk Eko. Namun teman-teman Rino belum pernah melihat aneka permainan tersebut. Hari itu Eko pulang sendiri dari sekolah. Tidak dengan Rino. Sejak Rino memiliki permainan baru, Eko jarang bermain bersama dengan Rino. Rino lebih memilih bermain sendiri dan tak pernah mengajak Eko. Eko pun tak tahu penyebab Rino enggan bermain dengannya. “Seperti apa sih aneka permainan Rino?” kata Eko dalam hati. “Kenapa Rino tak mau memperlihatkannya padaku?” ucap Eko.

Antirokok dan Perang Kepentingan

Diawali dengan penampilan monolog oleh sastrawan Whani Darmawan, tentang asal muasal serta eksistensi perilaku merokok dalam kehidupan berbangsa di Tanah Air. Monolog menceritakan pertentangan Roro Mendut, penjual rokok di kalangan masyarakat dan pemerintah yang menentang kegiatan tersebut. Whani membawakannya begitu apik dan mengesankan. Audiens tidak hanya terperangah dengan monolog tersebut, di sisi lain juga cukup ‘hilang pegangan’, apakah setuju dengan pemerintah yang melarang merokok atau kepada Roro Mendut, dalam pandangannya merokok justru salah satu identitas bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan. Acara itu bedah buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat karya Wanda Hamilton. Wanda dalam buku ini mengungkapkan dengan gamblang dan sangat rinci tentang motif-motif yang mendasari larangan dan pembatasan produk tembakau ini. Hal ini seiring dengan karirnya, peneliti independen dan pengajar ditiga universitas terkemuka di Amerika. Wanda ‘menelanjangi’ Amerika te

‘Bahasa Gagap’ atau Gagap Berbahasa?

Sejarah perjalanan bahasa bangsa ini cukup panjang dan lama. Katakanlah berawal sebelum kemerdekaan dikumandangkan di tanah air, bangsa ini telah jauh hari merintis bahasa yang bisa dimengerti dan dapat digunakan oleh semua rakyat. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, benar adanya. Sumpah Pemuda ini dijadikan pijakan pertama akan pengakuan bahasa persatuan dan nasional yakni Bahasa Indonesia. Sekitar 82 tahun kemudian, Bahasa Indonesia pun beradaptasi, kalau tak mau mengatakannya berubah, ke bentuk bahasa-bahasa yang kita kenal dewasa ini. Kalau dalam istilah akademisnya ada Bahasa Standar, Klasik, Artifisial, Vernakular, Pijin, serta Kreol. Jika melirik dalam bahasa di sekitar tempat tinggal kita, ada Bahasa Sleng atau Ken, Gaul, Jargon, dan sepadannya. Kesemua variasi bahasa tersebut subur berkembang di sekitar kita. Mulai dari para siswa, mahasiswa, pegawai atau karyawan, pemuda-pemudi di lingkungannya, serta tak ketinggalan para waria dan banyak jenis profesi lainnya. Variasi bahasa ter