Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2012

‘Melawan’ Globalisasi dengan Perspektif Poskolonial*

Jika memang ingin ‘melawan’ arus globalisasi, yang dinilai menghegemoni dan mendominasi (menghomogenisasi sekaligus mengheterogenisasi justru pengaruhnya hampir sama-sama kuat) ‘identitas’ (baca; klaim hirarki kemurnian budaya salah satunya kesenian lokal/tradisional) bangsa (nation-state), saya menawarkan perspektif poskolonial. Sebelumnya, (kita coba menyepakati) perspektif ini tidak melulu berbicara tentang penjajahan dan si terjajah, dalam konteks masa kolonial tempo dulu. Akan tetapi, dalam konteks bagaimana globalisasi ‘menjajah’ bangsa-bangsa (nation-state) di dunia (tentunya dengan kekuatan kapitalisme), mengerucup pada Indonesia, juga penting didialogkan. Perspektif ini memang terkesan serba ‘agak’; agak melawan (si penjajah; globalisasi) bahkan dalam pendapat lain justru agak meneguhkan hegemoni globalisasi itu sendiri (baca; oleh Marxian). Semangat perspektif poskolonial menawarkan ‘perlawanan’ yang tidak melulu menggempur dengan otot, tapi justru bermain pada tataran id

Review The Public Sphere: An Encyclopedia Article by Jürgen Habermas

Era modernisasi yang mementingkan akumulasi modal, birokrasi, dan teknokratisasi, bagi Habermas, merupakan era yang cacat, terdistorsi (penyimpangan) dari pencerahan sehingga membutuhkan pencerahan lanjutan. Ia menawarkan tindakan berupa rasionalitas komunikatif yang termanifestasi dalam argumentasi-argumentasi dari masyarakat pada ruang-ruang tertentu atau publik. Tujuannya, selain untuk perkembangan politik, ilmu pengetahuan, kebudayaan, membentuk masyarakat yang otonom dan dewasa, juga karena kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional. Tawaran ini sekaligus mengkritik Marx tentang konsep praksis yakni kerja kemudian revolusi. Karena bagi Habermas, rasionalitas –dalam bentuk komunikasi dan dialog- yang lebih berpusat pada subjek, tak kalah penting dalam menentukan perubahan tatanan sosial masyarakat. Ruang publik, menurut Habermas, lahir di Inggris, Perancis, dan Jerman pada penghujung abad 18 dan abad 19. Pada masa ini (Liberal Model) ruang publik lahir –warung kopi, salon

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Review The Work of Art in the age of Mechanical Reproduction

Walter Benjamin khawatir terhadap kemajuan teknologi yang dinilainya dapat menghancurkan nilai seni yang tinggi dan antik. Reproduksi mekanik karya seni, dalam pandangan Benjamin, mampu meniscayakan kehadiran ruang dan waktu. Kemajuan teknologi ini melahirkan karya seni yang tidak lagi murni karena ditopang oleh produksi karya seni dengan mudah dan cepat dalam produksi mekanik. Melalui produksi mekanik ini, proses peniruan dilakukan terhadap karya seni dengan mudah dan cepat. Melalui produksi mekanik pulalah penemuan atau hak kepemilikan berubah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Alhasil, karya seni dengan mudah dimiliki oleh siapa saja dan dimana saja tanpa harus mengeluarkan uang atau tenaga yang lebih banyak. Dalam hal ini Benjamin memisalkannya dengan kemajuan fotografi (kamera) yang menggantikan litografi sebagai produk mekanik untuk memproduksi seni secara massal. Akan tetapi, melalui kemajuan teknologi ini, Benjamin merasa ada yang kurang, pudar, atau bahkan hilang

Kakek Nenek di Era Globalisasi

KETIKA bercengkerama ria bersama karib kerabat, biasanya para pekerja sosial (bahasa bekennya aktivis), candaan agar mati muda adalah salah satu yang ‘dicita-citakan’. Selanjutnya Soe Hoek Gie, adalah salah satu nama yang tak bisa ditampik dalam pembicaraan itu. Ia menjadi pujaan, khususnya akan gerakan dan karya-karyanya. Kenapa? Ini menjelaskan, bahwa usia muda harus digebrak sedemikian rupa untuk terus bekerja dan berkarya –tidak kemudian bercita-cita pensiun di usia 40 tahun. Nah, ketika ajal menjemput, katakanlah itu di usia belum genap 30 tahun atau setidaknya tak sampai menjadi nenek kakek dan masuk panti jompo, adalah sangat ‘sesuatu’ hingga luar biasa. Kata dosen saya, menunggu tua itu menyakitkan! Kemudian, sebagai contoh yang fenomenal, di kalangan kaum adam, keputusan memilih untuk berkumis atau tidak disesuaikan sedemikian rupa, mulai dari menginjak usia kepala tiga (tidak berkumis atau kumis tipis), empat puluh hingga 50 tahun (mulai agak tebal), 60 tahun (kumis dicukur

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas

KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat. Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea. Psy mengkritik –mungkin tepatnya mela