Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2012

Kerjakan 'Batu Besar' Pertama Kali dalam Hidupmu!

'Did you know, it's fervency to run towards the sun' Sepanjang perjalanan waktu, kita disibukkan dengan beragam hal yang menyita waktu, tenaga, dan perasaan. Acap kali kita lupa dan tidak sadar bahwa banyak hal dari semua itu tidak penting dan tidak perlu dikerjakan atau ditunda sementara waktu. Namun, manajemen yang buruk membuat kita menjalaninya tanpa beban dan tanpa rencana yang matang. Padahal ini bisa merugikan kuantitas dan kualitas dalam hidup kita. Mengerjakan 'batu besar' pertama kali dalam hidup, maksudnya mengerjakan hal-hal pokok yang membuat hidup jauh berkualitas. Bukan sebaliknya, terjebak pada rutinitas kecil yang menjadikan hidup biasa-biasa saja. Kita kerap menilai, apa-apa yang kita kerjakan adalah hal yang paling luar biasa dan penting. Padahal belum tentu begitu. Ya, menjalani hidup apa adanya banyak dielu-elukan orang. Filosofi menjalani hidup seperti air mengalir tidak hanya banyak dianut orang, namun juga dikampanyekan pagi dan petang dengan

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Akhir Pekan Dipenuhi oleh Mereka dari Padang

'Hai, para saudariku yang di Padang, hingga kapan kita selalu mencari-cari seperti ini?' Sejak pagi sekali, pesan singkat membangunkanku. Pesan pertama ini datang dari para sahabat yang masih bermukim di pulau seberang, Sumatera. Tepatnya Kota Padang yang pernah kutinggali sekitar empat tahun lebih. Entah apa gerangan, tiba-tiba pesan kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya terkirim dari mereka yang tak mungkin dilupakan. Pesan dari rumah pertama -kos- datang dari adik-adik yang sekonyong-konyong menanyakan banyak hal tentang aku di perantauan. Kalau hanya pertanyaan kapan makan bersama lagi, ini pertanyaan mudah dengan jawaban yang mudah pula. Kujawab saja, 'Kapan aja boleh', sembari menyisipkan kata-kata 'Hehehe' di akhir pesan. Namun, dari sekian banyak tanya, tentu saja pertanyaan yang amat sulit dijawab adalah tanya 'Kapan lagi menginap di kamar-kamar mereka yang sumpek dan berantakan?' Aku kembali mencoba dewasa dan berwibawa. 'Insyallah ya

Pada Gadis Kecil dan Rintik Hujan di Pagi Buta (2)

Memang, kalau dilihat-lihat, sang ibu sebaya denganku yang tengah mengadu nasib di tanah seberang pulau ini. Di wajahnya, sangat jelas sekali gurat-gurat wajah yang belum aus dimakan usia. Ia masih sangat hijau untuk berkeliling kampung dan memiliki gadis kecil yang lincah dan riang gembira itu. Dari guratan jemari tangannya yang lemah dan hati-hati meracik sate tusuk serta kuah kacang juga menampilkan kemudaan yang tak kalah kuatnya. Toh, jika ada beberapa flek hitam di kuku-kuku tangannya, itu mungkin hanya dikarenakan bumbu-bumbu sate tusuk atau bumbu masak yang menempel di sana. Namun, darah kemudaan masih sangat membekas kawan. Akan tetapi, dari jauh kau akan melihatnya persis seperti perempuan-perempuan setengah abad yang perlahan-lahan susut dimakan waktu. Karena perawakan ibu muda ini memang tinggi semampai dengan tubuh padat berisi. Selain itu, cara ia berpakaian juga ikut serta dan memaksa ia untuk terlihat lebih tua beberapa tahun dari usia aslinya. Mulai dari kebaya serta s

Pada Gadis Kecil dan Rintik Hujan di Pagi Buta (1)

Mungkin ia tak punya teman di rumah, atau sang ibu tidak mempercayakan gadis kecilnya di rumah sendirian. Oleh karena, dibawalah gadis mungil itu berkeliling desa berjualan sate tusuk. Bukan tak peduli pada kesehatannya sehingga rintik-rintik gerimis ini, gadis kecilnya tetap sedia berjalan, sesekali melompat dan berlari kecil di depan sang ibu yang tengah menjunjung sate-sate tusuk dan perlengkapan jualan lainnya. Rambut yang dikepang dua berpita kuning muda itu ikut pula meloncat-loncat ketika ia meloncat dan berlari kecil menghindari genangan air bekas hujan tadi sore. Sembari memainkan kancing jaketnya, ia pun berkata-kata, entah bernyanyi, entah bercerita. Yang jelas tampaknya gadis kecil ini tak rewel pada ibunya yang tengah berjualan keliling sate tusuk itu. Sesekali ia pun ditanyai oleh langganan ibunya. Sudah makan belom? Tadi di sekolah buat gambar apa aja? Si gadis kecil, mungkin malu, dan mungkin lebih sibuk dengan kancing jaketnya, ia tetap saja berkata-kata, entah bernyan

Aku dan Witer Bercerita Tentang Kutu di Bibir Saun

Awalnya, tak pernah terpikirkan akan secepat ini. Apa-apa yang diinginkan tentu saja harus dengan kerja keras yang bercucuran keringat. Jika tidak di badan, maka di otak keringat itu akan bercucuran. Itu harus, karena sukses adalah 10+1. Artinya, engkau harus sakit setelah banyak bekerja atau berusaha, barulah berhak menerima imbalan sesuai dari usaha dan sakit ini. Tentu saja, teori ini bukan penulis yang merumuskannya, tapi Mbah Mario Teguh yang super duper serta luar biasa. Suatu senja di awal musim hujan di kota ini, ketika menguakkan pintu kamar kos, seonggok netbok terbungkus plastik putih, enak saja tidur di kasur lusuh itu. Kebetulan, kamar kos ini juga baru untuk aku dan Saun. Sejurus kuperhatikan, tentu saja sangat baru dan aneh. Kok bisa? Ya bisa, buktinya ada, tidak absurd seperti yang aku dan Saun dengung-dengungkan selama ini tentang janji-janji dan alamat-alamat palsu. Soal janji dan alamat palsu itu, tak perlulah dibahas dalam cerita baru ini. Cukup aku, Saun, dan Tuhan

Sepanjang Ring Road Kau Hantarkanku

'Hai Ken, darimanakah ilham kisah tak bersudut ini bermula?' Sepanjang jalan lingkar kota ini, kau kenalkan aku pada Saun yang dulu kau ceritakan. Waktu itu, hampir setiap malam kau berkisah akan diri, spiritual, dan bunga-bunga layu. Apapun itu, bagimu akan lebih mudah jika dilihat dengan mata menyala dan penuh harap. Karena yang demikian akan jauh lebih menenangkan dan menghibur kelana. Waktu itu, kau bercerita tentang masa remaja. Dan waktu itu, sang ayah masih setia menemani. Di tengah kota metropolitan kau tumbuh bersama Saun dan rerumputan beton. Hingga kau mengira, kalau masa depan adalah hari-hari yang dilalui bersama karib dan keluarga. Selebihnya, adalah milik para penguasa beton dan suara itu. Dan kau sebagai bocah waktu itu, tak dibiarkan melihat banyak dari semestinya. Kemudian, tiba-tiba ayah tercintamu mangkat dalam usia yang sangat muda sebagai kepala keluarga dan pria teladan. Kau pun menjadi kepala keluarga dengan modal mental dan materi yang tidak pas-pasan.

Jangan di Bumi, Hiduplah di Langit!

Karena apa? Karena di bumi kau hanya akan menerima segala dosa. Dosa dengan segala ketidakenakan terhadap dirimu. Karena dosa, seperti yang diceritakan oleh para tetua dulu, adalah laknat bagi mereka yang melawan. Dan ternyata, dosa tidak selalu datang dari dirimu sendiri, namun juga dari orang-orang yang kadang sangat kau cintai. Begitulah. Dan pikiran ini terkristalisasi, jika tak ingin menyebutnya terinspirasi, dari tentu saja pengalaman yang sudah-sudah kawan. Pada inginnya, seseorang tak berniat mencaci dan memaki. Namun, ekspresi ini, sengaja atau tidak, tercurahkan begitu saja ketika melihat 'penampakan' yang mengakibatkan dia harus mencaci dan memaki. Tak tertutup bagi Saun. Awalnya sangat tak ingin, namun ada semacam request, terpaksalah harus memaki dan mencaci. Dengan rasa penyesalan belakangan. Sadis memang, jika harus mencaci dan memaki kepada orang-orang yang seharusnya tidak demikian. Katakanlah ia seorang gay dan teman karib. Gay, tidak menjadi masalah. Karena m

Engkaulah Si Penawar Itu

Dari pagi ke pagi, rasa jenuh, iba, dan tertekan kerap mendatangi. Beginilah sesungguhnya hidup di bawah tekanan. Tekanan yang tidak begitu menggigit sebenarnya. Namun, karena melakoni baru-baru ini, jadi semua terasa asing dan menjemukan. Kerap pula ketika hendak membasahkan kepala ini, rasa sedih dan iba hati merajalela. Ooo, jadi begini hidup orang dewasa itu ya. Menjalankan rutinitas tanpa pernah berpikir dan bermimpi akan menyetop diri dari semua itu. Ya, ini hidup orang dewasa anakku. Beginilah kehidupan yang dilakoni oleh orang tua, abang-abang dan one sejak jauh hari dahulu. Dan engkau, bungsu, baru seumur jagung. Ternyata sudah merasa jenuh dan iba hati. Coba pula kau lihat di teve-teve, betapa orang-orang itu setiap pagi dan sore menjelang, lalu lalang di sepanjang kota. Mereka hilir mudik hendak ke mana saja, tentu saja ke tempat dimana mereka mampu mandiri. Hidup, katanya, secara normal begitu. Bekerja dari pagi hingga petang. Awal atau akhir bulan berhak menerima salary se

Di Sini, Jiwa Dagang Itu Membludak

Sejak langkah pertama menginjakkan kaki di kota budaya ini, dimana-mana orang berjualan selalu lebih banyak. Apa saja. Mulai dari makanan, ini yang paling banyak, kemudian merembes ke produk-produk kreatif seperti kaos oblong, pernak pernik, tas, sepatu, dan masih banyak lagi. Orang muda dan tua di sini memang suka berjualan. Awalnya memang kecil-kecilan dulu, setelahnya bakal lebih besar lagi jika mampu menakklukan kendala. Beberapa teman dekat, sangat membabi buta untuk membuka berbagai bidang usaha. Misal, mulai dari makanan, jasa, penerbit, usaha foto copy, dan tak ketinggalan order ini itu kecil-kecilan yang berbuah besar. Pokoknya apa saja diharapkan mampu menghasilkan uang. Tak pikir lama-lama, apa saja. Tentu saja dominan dari teman saya harus mengkaji ulang kembali jenis dan ketersediaan modal dalam menjalankan ritual itu. Tiga menit lalu, ketika saya menuliskan uneg-uneg ini, saya berkenalan dengan laki-laki padat berisi yang menurut saya, hampir sebagian besar masa dewasanya

Butuh Boncengan Ke Milan?

'Hati-hati dengan mata anda yang mudah ditipu' Jika selama ini yang namanya dibonceng hanya untuk kawasan yang berdekatan, kali ini kamu akan dibonceng menuju Milan. Siapakah yang bersedia memboncengmu ke sana? Dan dalam keperluan apa sehingga ia mau memboncengmu ke sana? Ide bonceng membonceng ini tak terlepas dari kegemaran menonton televisi. Milan, menjadi tujuan akhir boncengan berhenti. Kenapa Milan? Katanya Milan itu adalah selain kota surga belanja juga kota dengan penuh daya tarik. Konon di sana goresan tempo dulu, sebelum masehi, sejarah Yunani atau Romawi kuno sempat mampir di sana. Dalam benakku yang dangkal ini, sesampinya di sana, mungkin kamu akan seperti memasuki zaman before century dengan sangat memukau. Mulai dari warna kota yang kuning tanah, bangunan dan benteng kuno besar-besar, serta peradaban lainnya, termasuk pakaian dan cara menikmati hidup. Sebelumnya, kau tentu ingat dengan gaetan iklan es krim yang membuatmu bak berada di istana dan dilayani bak ratu

Tegakkan Kepala, Berlarilah Muridku!

“Sikap masa bodoh hanya akan membuat diri kita bodoh dan tak berarti apa-apa. Sikap ini jauhkan dari diri kalian. Kalian anak cerdas yang punya masa depan jauh lebih baik daripada Bapak. Ingat selalu kebaikan-kebaikan orang tua yang sekarang di sawah, di pasar, dan dimana saja. Tak ada alasan bagi kita, anak-anakku, untuk membuat mereka sedih dan kecewa.” Begitulah sepenggal ceramah dari guru kelasku sewaktu di SD dulu. Ceramah ini akan selalu beliau berikan kepada kami, murid-muridnya, sebelum sekolah bubar. Beliau adalah Pak Wama. Guru muda dengan perawakan tinggi semampai, rambut hitam lurus, kulit sawo matang, khas orang khatulistiwa, namun telah beristri. Hingga sekarang aku masih gelap, Pak Wama tamatan sekolah tinggi mana. Namun, sekitar 11 tahun lalu, beliau menurutku adalah guru tercerdas serta baik hati yang pernah ku’miliki’ di sekolah. Beliau berbeda dari guru lainnya. Cara beliau menegur, mengajar, terbahak, dan tersenyum, adalah hal luar biasa bagiku dan bagi masa depanku

Meniti Awan dan Menyeberang Senja

Kata Ibu, awan gemawan ikut serta membesarkanmu Persis pula dengan yang dikatakan Ayah Dengan putih dan beraraknya, kau diayun, dilena, dan disenangi setiap siang Karena awan menginangmu Karena Ibu dan Ayah mengais rezeki Karena saudaramu juga belajar air, udara, dan waktu Biar kau bersama awan hingga senja Dan senja takkan penatkan kami Ibu, Ayah, serta saudara tumbuhkanmu hingga kau tahu panasnya api, mentari, dan ucapan Wahai biji mataku, berria rianglah di atas sana Tunggu Ibu Ayah menjemputmu ke pelukan

Dan Semua Bintang Berseru Nakal

Malam itu kau membelikan aku boneka Shaun, tidak yang gembrot itu, sedanglah ukurannya untuk pelukanku yang mungil. Tentu aku tertawa-tawa senang memeluknya. "Andai aku yang jadi Shaun, bakal seru nih," katamu waktu itu. Dasar pacar jelek, jawabku dengan sebal dibuat-buat. Kita pun makan malam di tempat biasa. Itu, angkringan yang super ramai dengan dinding ditempeli kalimat perintah 'Mohon Bayar Dimuka'. Setiap kami makan malam di angkringan itu, pacar saya yang super jelek tadi, mengusili mba-mba yang menghitung harga makan kami. "Mana mukanya mba, sini tak tempelin duit," katanya sambil terkekeh. Si mba-mba pun tak dapat menyurukkan muka merah padamnya di malam temaran itu. Begitulah, walau namanya angkringan, engkau akan berjumpa banyak orang, baik masyarakat pribumi maupun anak-anak muda perantauan, ya seperti kami. Tak sedikit pula si londo-londo yang belajar makan masakan Jawa yang super manis pedas di sana. Semuanya berbaur di bawah temaran lampu neo

Kepada Angin di Februari Kabisat

Sejak Februari ini angin sepoi-sepoi semakin berhasrat menimpa wajahku. Wajah yang dilanda beribu-ribu kebingungan ini semakin dekil dan tak terurus. Di tengah terpaan itu kusampaikan pula salam kebebasan dan kejayaan. Mungkin ini waktu dimana aku menghindar dari kemapanan. Kami, aku dan teman di Andalas, pernah berseloroh bahwa kami adalah generasi anti kemapanan. Sembari terkekeh, temanku mengiyakan gombalanku yang gila dan garing itu. Pada waktu itu memang hanya sebagai obrolan biasa lewat telepon genggam. Generasi digital yang mudah hilang kendali. Kepada angin di Februari Kabisat, entah iya kabisat atau tidak, hanya saja saya sangat menyukai menuliskannya. Februari ini, angin-angin kadang garang kadang juga sepoi mengiringi pagi kami hingga malam merangkak. Hujan hanya sekali-sekali. Itu pun tak lama. Namun selalu diikuti angin, kadang angin kencang, kadang juga tidak. Kepada angin Februari Kabisat ini pula ingin kubisikkan seribu kata dan helaan napas. Kepada angin ini pula, kutu

Perjalanan Rindu pada Langit Andalas

120 pekan tak cukup membuatku mengeluh dan balik kanan pada terpaan angin dan padai di jantung kota ini. Masa itu, adalah masa dimana kau tumbuh lebih besar, kata seorang teman sembari mengunyah suir-suir ayam gorengnya. Tak sampai di sana, pada masa ini kau juga harus banyak belajar tentang kehidupan yang benar-benar begini adanya. Tidak seperti kehidupan selama ini kau di Andalas. Kau pasti pahamlah maksudku, katanya, kali ini mulai menyeruput es tehku. Judul di atas, bukan rindu tepatnya, tapi kegamangan dan ketakutan, yang kadang saya lebih-lebihkan. Kau itu, suka menakut-nakuti diri sendiri, kata temanku ini. Jalani nasibmu di sini, dan kita bersama teman-teman di rumah kedua itu, mencoba merubah, apakah akan lebih baik atau semakin kecele. Kita lihat nanti, katamu lagi. Memang, temanku satu ini melihat hidup sangat simpel dan tak perlu merepotkan diri. Ia persis abangku di Andalas. "Kau jangan bingung di sana. Jangan dipersulit hidup. Jalani kehidupan seperti alur yang telah

Belanja Buku dan Manipulasi Dirimu

Perhelatan pesta buku di kota Jogja awal tahun 2012 ini akan segera berakhir. Detik-detik terakhir pesta buku yang oleh dihelat Ikatan Penerbit Buku Yogyakarta (IKAPI DIY) ini mengundang banyak pengunjung. Hampir setiap hari iven akbar ini diramaikan oleh mereka-mereka yang buku holic. Tentu saja hal ini ditunjang dengan peran kota Jogja sebagai kota pelajar dan budaya di Tanah Air. Setiap hari saya mengunjungi iven buku ini karena tak tahu lagi akan kemana, serta teman-teman tercinta memang mangkal di sana. Selama tujuh hari, beragam orang yang dating berkunjung, melihat-lihat, dan syukur-syukur berbelanja buku. Paling banyak yang datang memang para mahasiswa dan orang dewasa. Apalagi pada stand buku yang kami tunggui beramai-ramai. Selain harga miring, diskon hampir 80 persen, para pengunjung juga akan dimanjakan dengan tema-tema buku yang lebih bebas (liberal) serta berani. Koleksi buku dari penerbit ini memang rada-rada kiri. Kiri, apakah itu pancasilanya, apakah itu Islamnya, dan