Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2011

Keringnya Ladang Nurbaya

Di musim rintik-rintik, sedari pagi, tengah hari, hingga malam menjelang, Nur hanya berputar-putar di dalam rumahnya yang seluas lapangan bola kaki. Perempuan muda itu tak terbiasa dengan gerimis. Ke kandang kambing belakang ia pun tak kuasa. Takut butiran-butiran bening itu menghujani kepalanya. Ia bisa terbaring berbulan-bulan, karena didera influenza dan menggigil. Dan ini bisa membuatnya mati. Tapi ia tak sanggup mendengar embikan kambing-kambing yang sejak gadis ia pelihara. Kambing-kambing itu telah seperti anak-anaknya. Saban hari, setelah suaminya ke kantor kelurahan, segera ia berkutat dengan kambing-kambing itu. Kambing itu sudah ia pelihara sudah tujuh tahun. Jumlahnya enam ekor, semua jantan. Modal membeli kambing ia dapatkan ketika bekerja di luar negeri. Ia dikontrak menjadi pembantu rumah tangga di Singapura selama lima tahun. Bersama Wati, Idah, dan Lela mereka mengenyam hidup sebagai buruh migran di negeri orang. Separuh gajinya ia kirimkan pulang kampung melalui we

Perempuan dan Masa Depan Indonesia

Berbicara tentang kebangkitan bangsa Indonesia berarti berbicara tentang kondisi nyata bangsa saat ini kemudian menyiapkan strategi-strategi jitu untuk menghadapi masa depan yang berat dan jauh lebih menantang. Tak ketinggalan belajar dari perjalanan sejarah bangsa yang besar ini, agar hal-hal yang tidak penting dan mengacau diharapkan tak terulang kembali. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebentar lagi akan memasuki usia ke 66 tahun, beragam hal yang mesti dibenahi dan mendapat perhatian lebih untuk mewujudkan bangsa yang adil, mulia, dan bermartabat. Salah satu hal yang menarik untuk diperbincangkan adalah relasi antara laki-laki dan perempuan yang hingga saat ini masih timpang dan tak jelas simpang siurnya. Kenapa hal ini menarik untuk dikaji? Hingga saat sekarang perempuan kerap mengalami ketidakadilan gender, diskriminatif, dan marginalisasi peran dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan belum memperoleh posisi tawar yang layak atas kualitas (pemikiran) yang dimiliki, ha

Nurbaya dan Lelaki Sedarahnya

Di balik jeruji besi, ibu bersandarkan bantal lusuh seadanya. Perempuan yang rambutnya kian memutih itu, tak ingin mengorbankan puasanya walaupun ia semakin hari semakin lemah. Tak hanya menanggung lapar dan haus, tetapi juga malu dan bersalah. Setelah dua tahun dibui, ibu tetap merasakan kegagalan dan kesalahan itu sebagai buah dari sikapnya yang teledor dan bodoh. Ia gagal mendidikku sebagai anak yang dibesarkan tanpa ayah. Dan ia masih merasa bersalah kepada majikannya dulu. Karena lalai dengan janjinya untuk merawat kakak angkatku, Mida, hingga ke jenjang pernikahan. Seperti hari ini, ia tak banyak bicara padaku. Satu dua kata ibu bertanya kabar sembari memperbaiki sanggulnya yang baik-baik saja. Setiap kali aku menjenguknya, pesan ibu selalu sama, berharap aku dan kakakku cepat mendapat jodoh dan hidup bahagia. “Ah terkutuklah ayah yang menyia-nyiakan nasib kami,” desisku setiap kali menjenguk ibu di rumah pesakitan itu. *** Bulan Ramadan ini merupakan bulan yang paling berkah ba
Gemes Itik Foto ini diambil pada sore hari sekitar pukul 16.30 WIB, Kamis, 4 Agustus 2011 di salah satu tempat bermain (di tengah sawah yang sudah dipanen) anak-anak kampung Jambak, Balai Selasa, Sumatera Barat. Lahan sawah itu digunakan anak-anak kampung Jambak sebagai tempat bermain bola sebelum lahan itu diolah kembali oleh petani setempat untuk menanam padi. Terbang Foto ini diambil pada siang hari sekitar pukul 13.00 WIB, Senin, 29 Maret 2010 di kota Padang, Sumatera Barat. Anak-anak bermain lompat-lompatan dari atas jembatan ke sungai atau Banda Bakali di bawahnya. Di tengah rintik-rintik hujan siang itu, tak menyurutkan semangat ketangkasan mereka melompat dari ketinggian.

Perempuan Penjual Pacai

Ayah telah membuka kedai serba ada ini sejak aku dilahirkan. Entah apa yang ada di benak ayah waktu itu, hingga beliau tertarik membuka kedai macam begini. Apa saja yang diinginkan orang-orang kampung selalu tersedia di kedaiku. Mulai dari perlengkapan mandi, alat-alat masak, jarum pentul, hingga batu asah. Jangan heran, setiap hari kedaiku ramai oleh pembeli. Tapi, sekarang ayah telah tiada. Di kedai warisan ayah ini, pacai1lah yang paling banyak dicari orang. Karena, di kampungku, setiap pesta perkawinan, ritual kematian, doa-doa menyambut bulan suci, serta kegiatan tradisi tertentu, selalu terasa kurang lengkap jika tak ada pacai. Serbuk pacai yang mengeluarkan aroma khas apalagi ketika dibakar, menjadi daya tarik dan magis, turun temurun bagi orang-orang di kampungku. Makanya, pacai menjadi barang wajib ada di kedaiku. Bagiku sendiri, bau pacai seperti bau bunga sedap malam yang diterpa angin sore. Suatu kali ibu menaburkan serbuk pacai ke dalam bara api di tengah rumah menjelang

Kawin Cobak

“Anas! Anas! di rumahkah kau malam ini?” Teriak seseorang dari luar. Gemuruh suara para lelaki semakin ramai. Kontan saja seisi rumah terbangun. Setengah berlari sambil menyanggul rambut disisipi uban, perempuan setengah abad itu keluar kamar. Disusul suaminya sambil merapikan sarung lusuh kotak-kotak. Drittttt, pintu dengan engsel berkarat itu dikuakkan, sedikit terpaksa. “Apa yang terjadi?” Suara cemas perempuan itu keluar, bertanya kepada orang ramai. Jelas sekali raut wajahnya tegang dan panik melihat banyak orang malam-malam buta ke rumahnya. “Itu, anak gadismu tertangkap pemuda sedang berduaan malam-malam dengan Liyan di jembatan ujung,” jawab lelaki yang memanggil-manggil nama Anas tadi. “Sekarang ia dimana?” Tanya si suami sambil berbaur dengan orang-orang. Bergegas akan menyusul Mida, anak gadis mereka yang ranum. Sebelum si suami berangkat, tiba-tiba dua sepeda motor dikendarai pemuda berhenti di depan orang ramai. Mereka membawa sejoli belasan tahun yang dengan raut muk

Peminggiran Perempuan di dalam Novel Tanah Tabu

Mengikuti perkembangan tema novel Indonesia dewasa ini, persoalan perempuan dapat menjadi sentral masalah yang tidak habis-habisnya dikupas oleh pengarang. Berbagai fenomena tentang perempuan menjadi faktor pendorong bagi pengarang untuk menghadirkannya dalam sebuah karya sastra. Selanjutnya masalah gender, emansipasi perempuan, eksistensi perempuan, dan citra perempuan terus berkembang dari novel-novel periode Pujangga Baru hingga sekarang. Salah satu novel yang menceritakan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial terhadap gender perempuan ialah Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf. Novel ini pun semakin penting di dalam kesustraan Tanah Air karena mendapatkan penghargaan sebagai pemenang pertama dalam sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2008 lalu. Novel ini mengisahkan kehidupan seorang perempuan tua bernama Mama Anabel dan lebih dikenal dengan Mabel. Mabel yang ditinggal suaminya, hidup dengan menantunya, Lisbeth atau Mace, yang juga ditinggal oleh suaminya. Diteman

Harusnya Saya Diwisuda ‘S2’

Sejak pagi sekali, saudara-saudara perempuanku sudah mempersiapkan segala hal guna mempercantik diriku pada hari H wisuda tahun ini, 2011. Aku tak punya pilihan lain, kecuali meluluskan niat hati mereka yang baik dan tulus itu. Tak sampai satu jam, mereka telah menyulapku menjadi makhluk yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Entah cantik, entah seram. Yang jelas sulapan itu kubawa ke tengah-tengah keramaian dan cukup menenangkan, karena banyak juga fans yang ingin berfoto bareng denganku. Waktu itu hari Sabtu, 8 Oktober 2011. Hari dimana aku dan 3912 wisudawan/wati di Universitas Negeri Padang diwisuda secara resmi. Kata Rektor UNP, kami mengenalnya dengan sebutan Pak Didi, wisuda periode 92 ini merupakan wisuda terbesar sepanjang sejarah berdirinya UNP sejak dari IKIP Padang hingga berubah menjadi UNP. Saking besarnya dan banyaknya, wisuda diadakan sebanyak dua hari, Sabtu dan Minggu. Agak aneh, kurang meriah, namun terselip kebanggaan yang luar biasa. Itulah periode ketika aku

StandUp My Miracle

Sengaja gua kasih judul tulisan ini StandUp begitu, ya selain tampak keren karena lagi booming, juga karena diri gua emang harus StandUp pada akhir-akhir tahun ini. Why? Mulai dari terjangkitnya gua akan virus bengong melulu hingga gua nggak tahu mesti ngapain. Hal ini terjadi justru setelah lebaran yang sebelumnya gua udah puasa selama sebulan minus satu minggu, karena emang begitu cara gua berpuasa setiap bulan Ramadan. Padahal pada bulan Ramadan dan mendekati Syawal itu, gua udah bertekad kuat banget buat merubah hidup gua yang tentu lebih asyik dan lebih keren donk dari sebelumnya. Nyatanya gua kayak orang freak, bengong dan nggak jelas mau kemana. Nah, bulan Syawal atawa September lalu, lu-lu bisa kan liat blog gua yang kosong melompong, nggak ada auranya. Padahal waktu itu gua banyak banget lho di kamar buat menulis dan sejenisnya. Buat bikin sesuatu buat blog gua nanti, biar gua nggak nyesel karena udah nelantarin dia, blog gua itu. Kerjaan gua selain K0P3r ya ketawa-ketawa

K0P3r, Komunitas Nyentrik ala Kita-Kita

Awalnya, memang keterbatasan pendanaan di kantung masing-masing kami mahasiswa. Bagaimana tidak, duit sebanyak Rp 500 ribu per bulan sudah masuk sewa kost dan kontrakan serta uang bakwan untuk jajan di sore hari, mana cukup untuk hidup mahasiswa. Belum lagi listing kebutuhan kuliah, seperti buku-buku tua request dari sang dosen yang harus dipenuhi, foto copy selebaran sana sini yang berisi silabus dan seterusnya yang mengular, seperti ular piton. Dan yang paling apes mahasiswa yang tengah berulang tahun, atawa mahasiswa yang tiga kali seminggu jalan ke luar dengan si boy, ya harus bawa ‘password’ dong baliknya ke kost atawa kontrakan. Jika tak ingin mati berdiri digigit nyamuk di luar sana pada malam hari yang kelam dan dingin. Bagaimana tidak kere? Nah, inilah awalnya kami mendirikan sebuah komunitas yang secara nggak sadar diberi nama oleh saudara tiri saya, Mbak, K0P3r, alias komunitas online perai. Ya, perai itu artinya ogah membayar tapi tetap mau update status, heee. Kira-kira