Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2011

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Jangan Pandang Remeh Arsip

Arsip tidak hanya dibutuhkan untuk menjawab tanya atasan. Bukan juga hanya berumur lima tahun, setelah itu bisa begitu saja dibuang, dibakar, atau dijual di pasar loak. Arsip mengandung nilai-nilai sejarah dan budaya yang tiada tara. Keberadaan dan tata aturan arsip pun mampu merefleksikan budaya serta kemajuan suatu bangsa baik atau tidak. “Semakin bagus pengaturan arsip suatu bangsa semakin maju pula bangsa tersebut,” jelas Suryadi, sebagai pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Padang Membaca (KPM) di Museum Adityawarman, Padang, Minggu (17/7) lalu. Bagi Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden University Institute for Area Studies (LIAS) di Leiden, Belanda ini, salah satu kelemahan masyarakat Sumatera Barat dan Indonesia secara umum adalah masih memandang arsip sebagai benda mati yang tiada fungsinya. Arsip dipandang hanya sebagai tumpukan kertas dan barang lainnya yang akan memenuhi ruangan. Begitu juga dengan orang-orang yang bekerja di lembaga kearsipan, arsi

Etika Religius untuk Masyarakat Modern

Judul : Agama dan Bayang-bayang Etis Syaikh Yusuf Al-Makassari Penulis : Dr. Mustari Mustafa Penerbit : LKiS Yogyakarta Tebal : xii + 206 halaman Cetakan : I, Juni 2011 Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Pascareformasi bangsa Indonesia harus menghadapi tantangan yang jauh lebih besar, baik itu permasalahan nasional maupun dari luar negeri. Berbagai kemelut pun melanda Tanah Air ini. Mulai dari krisis ekonomi, politik, nasionalisme serta moralitas yang jauh lebih mengancam ketentraman dan kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara. Kecenderungan pihak-pihak penguasa untuk mendahulukan kebutuhan pribadi atau kelompoknya, semakin meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada penguasa. Alhasil, berbagai tindakan, aksi bahkan pelanggaran hukum ikut serta mewarnai kehidupan masyarakat yang bermuara kepada instabilitas nasional. Kondisi ini menjadi perhatian utama sekaligus kegamangan bagi Dr. Mustari Mustafa, seorang pendidik ya

Belajar Diundang Jauh

Berturut-turut setelah ujian akhir skripsi, saya diundang untuk mengikuti berbagai kegiatan. Tentu saja kegiatan positif yang mencerahkan. Hal-hal yang menyemangati karena berjumpa orang-orang yang merasa perlu berbincang kemudian menculik sedikit ilmu di antara kita. Saya mengalami hal itu beberapa hari lalu. Sesampai di Bukitting, seseorang berpakaian rapi menegur dan menyalami saya. “Adek Risma Dedees ya?” katanya. Saya kaget, mengangguk dengan senyum disungging ke arahnya. Kemudian cerita berjalan ke arah tulisan-tulisan saya yang tidak seberapa itu. Senang dan merasa bersalah. Senang karena tentu saja baru diapresiasi oleh salah satu pembaca yang pernah membaca tulisan saya di media massa. Bersalah, karena tulisan itu mungkin tidak begitu atau sebanyak penulis lain yang disuguhkan kepada pembaca. Tulisan saya, mungkin tidak sedahsyat tulisan oleh penulis lain. Saya tentu saja tak mau menyesatkan pembaca saya. Saya kira pembaca mengerti apa maksud saya ini. Beberapa acara diikut

Konstruksi Semangat Berorganisasi ala Bung Hatta

Menginjak ke-31 tahun negara dan bangsa Indonesia ditinggalkan oleh salah satu dwitunggal pendiri bangsa ini, Mohammad Hatta, semoga jiwa patriotiknya dalam membela dan mempertahankan Tanah Air tetap diwarisi oleh siapa saja, terutama generasi muda bangsa ini. Beliau pergi hanya sebatas jasad. Pola pikir yang cerdas, rasa nasionalisme yang tak perlu diragukan, keberanian yang pantang ditantang, serta semangat berbagi ilmu guna mencerdaskan anak bangsa, yang tumbuh dan berkembang di dalam jiwa Bung Hatta, yang kesemua itu sarat dengan ilmu dan iman tetap terngiang dan menjadi semangat baru untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini sesuai dengan Pancasila. Bung Hatta tak sekedar pahlawan dan legenda. Bung Hatta ‘bermetamorfosis’ dengan apa yang telah diperbuatnya, sehingga melahirkan pemikir-pemikir cerdas dan pekerja-pekerja keras yang bijak dan beriman, tapi dengan satu syarat, kesiapan sang ‘kepompong’ berubah menjadi ‘kupu-kupu’ (baca;generasi muda atau penerus) untuk melanjutkan perjuan

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper

Komunitas, Perkumpulan, dan Asosiasi

Keinginan dan kebutuhan akan berkumpul, sejak memasuki era reformasi, semakin banyak dan subur bak cendawan di musim hujan. Apalagi, kebebasan akan berkumpul atau berkomunitas ini dijamin oleh pemerintah di dalam undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semakin banyaklah orang-orang berkumpul, mendirikan suatu lembaga, dan menjalankan semacam visi misi sesuai dengan cita-cita perkumpulan mereka. Keinginan dan kebutuhan akan berkumpul kemudian membentuk suatu nama, apakah namanya komunitas, asosiasi, grup, persatuan, dan sederatan nama lainnya, cukup marak berkembang di masyarakat kota Padang ini. Beragam perkumpulan, mulai dari perkumpulan para pedagang, perkumpulan jurnalis, perkumpulan pecinta motor, perkumpulan pemerhati sastra, perkumpulan pemerhati pendidikan, perkumpulan pecinta makanan, dan ratusan bahkan ribuan perkumpulan lainnya yang tak bisa disebutkan. Kota Padang pun dipenuhi dengan berbagai perkumpulan, sebagai simbol, nuansa dialektika kita tak pernah padam. M

Dieng, Awal Peradaban Nusantara

Judul : Mata Air Peradaban, Dua Millenium Wonosobo Pengarang : H.A.Kholiq Arif dan Otto Sukatno CR Penerbit : LKiS Yogyakarta Tebal : xxvi + 546 halaman Cetakan : Pertama, Agustus 2010 Harga : Rp 100.000,- Selama ini kita mengetahui kebesaran bangsa ini sejak dahulu kala melalui kebesaran Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, serta kerajaan-kerajaan lain yang mengisi buku sejarah bangsa ini. padahal sejarah Nusantara pertama kali dibangun dan ditemukan di sekitar Komplek Dieng yang dikenal dengan Peradaban Dieng, sebagai sumber sejarah bangsa ini. Dari sinilah, sejarah Tanah Air dimulai dan berkembang ke pelosok Nusantara. Namun tak banyak yang tahu tentang Peradaban Dieng, Wonosobo, suatu daerah pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah. Penemuan historisnya membuat kita semakin bertanya-tanya, masih banyakkah rahasia atau bahkan pembohongan generasi tentang sejarah bangsa ini? Penulis buku ini, H.A Kholic Arif, seorang jurnalis dan Otto Sukatno CR, penulis buku, merangk

Sitti Nurbaya, Feminis Minang Tahun 20-an

“…Cobalah kau pikir benar-benar, nasib kita perempuan ini! Dari Tuhan yang bersifat Rahman dan Rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki, ‘teman kita’ itu. Sengaja kukatakan ‘teman kita laki-laki’ itu, karena sesungguhnyalah demikian walaupun banyak di antara mereka yang manyangka, mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya…”(Rusli, 2002:201). Ucapan ini dituturkan oleh Sitti Nurbaya kepada Alimah di penghujung malam kehidupannya dalam roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli (PT. Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, cet. 37 tahun 2002). Ungkapan ini menggambarkan bahwa Sitti Nurbaya merupakan perempuan yang tak tinggal diam ketika nasib dan kehidupan perempuan Minang dan di ranah Minang (masih) mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial berdasarkan perbedaan gender pada masa itu. Sitti Nurbaya, anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Kota Padang, mempunyai toko-toko yang besar, kebun-kebun yang luas, dan beberapa kapal yang dapat mengangkat bara

Semangat Jos Soedarso nan Heroik

Judul : Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul Operasi Patria Menyergap STC-9 ALRI Penulis : Julius Pour Penerbit : Penerbit Buku Kompas Tebal : xiv + 290 halaman Cetakan : Pertama, April 2011 Harga : Rp 58.000,- Pertempuran di Laut Arafuru, malam pada 15 Januari 1962, yang sempat dikomandoi Komodor Laut Josaphat Soedarso atau Yos Sudarso beserta puluhan anak buahnya berakhir tragis. Kapal Perang Republik Indonesia Macan Tutul yang mereka andalkan tenggelam dan terkubur di dasar laut dengan menggenaskan. Operasi militer pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Belanda itu tak hanya meninggalkan luka pilu, penyesalan, namun juga cerita konspirasi yang memiriskan. Kepentingan politik dan kekuasaan antargolongan di angkatan bersenjata waktu itu, tak dapat dielakkan. Sekaligus harus mengorbankan banyak jiwa, termasuk Komodor Jos Soedarso yang polos, ‘pembangkang’, namun tegas dan ksatria membela Tanah Air. Semuanya bermula dengan pidato Tri Komando Rakyat (19 Dese

Ucap Dengar Budaya Kita

Tanah Air ini diikenal dengan negara agraris, memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara lain semenjak dahulu. Sebagai negara agraris para pendahulu kita, tidak banyak mengenal budaya baca tulis atau budaya literer. Hal ini dipengaruhi oleh cara hidup yang dominan bergantung ke alam, nomaden (berpindah-pindah) dan cenderung akan pemenuhan kebutuhan fisik. Dalam kondisi ini masyarakat kita tak begitu mengenal aksara -tak bermaksud menafikan bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa yang memenuhi sejarah Nusantara. Untuk berinteraksi mereka berkomunikasi secara lisan dengan bahasa tertentu waktu itu. Hingga saat ini, mengerucut kepada masyarakat Minangkabau, budaya ini masih segar dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi masyarakat Minangkabau yang kental dan akrab dengan budaya lisannya, mengalami permasalahan serius berkaitan dengan semangat baca tulis ini. Kita jauh lebih suka dan menikmati budaya ucap dan dengar (lisan). Alasannya, karena hal ini lebih menarik dan menyenangkan hati daripada

Fantasi Manusia Yunani di Zaman Prasejarah

Judul : Mitologi Yunani Pengarang : Edith Hamilton Penerjemah : A. Rachmatullah Penerbit : ONCOR Semesta Ilmu Tebal : xiv + 314 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Harga : Rp 60.000,- Yunani sebagaimana yang diketahui oleh dunia, merupakan bangsa yang memiliki peradaban besar dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa lain di muka bumi. Yunani menjelma, dengan segala keagungan dan kekuatannya, menjadi negara dan bangsa yang diperhitungkan hingga saat ini. Negeri itu tumbuh dan menguasai berbagai elemen, terutama dalam ilmu pengetahuan serta kebudayaan dunia dengan tokoh-tokoh termansyur yang hidup jauh sebelum masehi. Kemansyurannya pun masih dikenang dan dipelajari oleh masyarakat masa kini. Setiap bangsa di dunia pasti memiliki sejarah, cerita-cerita tentang bagaimana bangsa tersebut lahir dan berkembang, begitu juga dengan bangsa Yunani. Yunani sebagai bangsa yang besar, hidup penuh dengan mitologi-mitologi yang diciptakan oleh masyarakatnya sendiri. M

Gus Dur

Ia telah wafat akhir tahun lalu. Kesedihan yang mendalam melanda bangsa ini. Bapak bangsa yang dibanggakan, diagungkan, sekaligus menggelitik, telah berpulang ke haribaan-Nya. Ia pemimpin yang meninggalkan jejak dalam, tidak hanya untuk golongan namun juga untuk nasional. Latar belakang pesantren mengantarkannya sebagai pemikir umat yang beda dari kebanyakan. Tokoh civil society ini ditakdirkan sebagai pendidik, pemikir, dan penulis ide-ide bernas, cemerleng, sekaligus ‘liar’. Penggodokan dari pesantren, yang sarat islami, tidak membuatnya stagnan di sana. Namun, seiring waktu, pemikirannya berkembang merambah ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-minoritas, pluralisme, serta pemerintahan dan kedudukan agama-agama dalam kehidupan dunia. Begitu kompleks dan itu didalami dengan baik olehnya. Perjalanan hidup Gus Dur dari Pesantren Tebuireng hingga kursi kepresidenan berjalan tidak begitu mulus. Keterlibatan penuhnya di NU juga mendapat sorotan yang tidak sedikit. Hal ini

Kultum KH. Zaenuddin MZ di Radio

Tanah Air kembali berduka dengan kepergian KH. Zaenuddin MZ, dai sejuta umat yang amat dicintai di negeri ini. Beliau pergi untuk selama-lamanya setelah serangan jantung yang dideritanya. Persis dengan sastrawan dan budayawan Wisran Hadi yang meninggal beberapa minggu lalu. Dai ini juga menderita yang sama. Kepergian Dai ini cukup mengagetkan dan membuatku sedih. Kaget karena tak disangka sebelumnya, bahwa Dai yang luar biasa ini, energik, dan selalu menghibur jemaahnya dengan kotbah-kotbah memiliki riwayat penyakit jantung. Seperti yang diketahui bersama, penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor satu di negeri ini. Penyakit jantung pun menjadi penyakit yang populer di tengah-tengah masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan. Sedih, ya siapa yang tak sedih ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintai, walaupun secara langsung saya belum pernah bertemu dengan beliau. Merasa kehilangan dan nelangsa, ketika mendengar Dai ini tutup usia karena serangan jantung. Sedikit cerita tentang Dai i

Dinamika Bangsa: Potret Demokrasi Setengah Hati

Berkecamuknya perpolitikan bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah di dunia tahun ini, turut serta mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di belahan dunia lainnya. Berbagai bidang kehidupan terbawa-bawa, perekonomian tentu saja, pendidikan tak dapat dielakkan, tak hanya sosial-budaya bahkan nyawa masyarakat sipil pun terancam, serta hubungan bilateral ataupun multilateral antarnegara tak menutup kemungkinan juga terkorbankan. Bak teori turbulensi, setiap kejadian yang terjadi di suatu tempat akan berpengaruh pada tempat lainnya, begitu juga hubungan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia di Asia ini dengan Kerajaan Maroko di Benua Afrika sana. Terlebih-lebih ketika, sedang hangat-hangatnya, Kerajaan Maroko melalui Raja Mohammed VI mengajukan proposal dasar reformasi perubahan konstitusi negara dan pemerintahan. Kerajaan Maroko yang selama ini menerapkan sistem monarki absolut, dikarenakan semakin melubernya pergolakan di negara-negara Islam, sistem ini pun kini dinilai kurang

Petualangan Lain di Jurnalistik

Judul : Mencari Tepi Langit Penulis : Fauzan Mukrim Penerbit : Gagas Media Genre : Novel Tebal : viii + 284 halaman Cetakan : Pertama 2010 Harga : Rp 37.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Jika selama ini kita banyak membaca karya sastra yang ceritanya bergelut pada titik percintaan, adat, perang, agama, maupun filsafat, mungkin takkan membosankan ketika menyelami karya sastra, novel, dengan sedikit pergeseran ke arah lain, dunia jurnalistik atau kewartawanan. Tak banyak memang, karya fiktif yang mengangkat persoalan utama di dalam cerita tersebut berkutat dengan dunia media cetak atau pers. Di Tanah Air pun karya serupa masih tergolong jarang ditemukan yang bisa dinikmati oleh ‘penggila novel’. Dunia jurnalistik, tak jauh berbeda dengan bidang lainnya, memiliki keunikan dan keasyikan tersendiri di dalamnya. Pun ketakenakan dan kesewenang-wenangan kerap membayangi awak-awak yang bergiat di lembaga tersebut. Semua hambatan itu tentu bisa