Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2010

Tiga Pengemis dan Lelaki Berpiyama

"Bocah itu, kemarin yang meminta-minta padaku.” "Kamu kasih berapa?" "Ogah ah, emang aku bodoh." "Heheheh, kirain." Sangat jernih kata-kata yang diucapkan bocah-bocah itu. “Minta duit Bang. Buk. Pak”. Anak-anak jalanan, mungkin juga tidak. Mereka, suka minta-minta pada orang-orang. Kadang di pasar, di terminal, di SPBU juga. Tak takut. Pakaian seadanya. Celana pendek tambalan di paha, kaos oblong lusuh, dan kaki tak beralas. Kadang membawa plastik, isinya beras, dan macam lainnya. Kadang juga lenggang kangkung. Ketiganya laki-laki, belum beruntung. Si tua, sekitar 13 tahun, tengah, 10 tahun, dan yang kecil 8 tahun. Sama-sama plontos. Hari itu, mereka di pasar. Awalnya, pagi hari tak bawa apa-apa. Celingak-celinguk di belakang orang-orang yang sedang jual beli. Tangan dibelit di belakang pinggang. Jalan beriringan. Jangan berpisah. Dan jangan takut nanti kalau tak makan. Sudah biasa. Kalimat terakhir, kalimat iseng dari kami. “Kamu sering lihat

Apresiasi untuk ‘Pahlawan Ceplas-ceplos’

Apresiasi untuk ‘Pahlawan Ceplas-ceplos’

Judul : Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan Pengarang : Mahfud MD Penerbit : LKiS Yogyakarta Tebal : xiv + 268 halaman Cetakan : Pertama, Mei 2010 Harga : Rp 75.000 ,- Resensiator : Adek Risma Dedees, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia BP 2007 UNP Siapa yang tak kenal Gus Dur? Siapa yang tak kenal dengan sosok yang kerap melemparkan ungkapan gitu aja kok repot? Ya, ia adalah Abdurrahman Wahid, salah satu guru bangsa di tanah air yang begitu nyentrik, unik, dan tentunya mengesankan baik ketika berbicara maupun pola berpikirnya. Namun, sekarang ia telah tiada. Pascawafatnya mantan presiden Gus Dur, kira-kira pukul 18.40 WIB pada 30 Desember 2009 lalu, pemberitaan media massa tentang obituari Gus Dur dari berbagai dimensi yang penuh talenta disiarkan dengan besar-besaran hingga berhari-hari. Ekspresi kesedihan, simpati, perhatian, dan duka yang mendalam datang tidak hanya dari masyarakat dalam negeri, akan tetapi juga datang dari dunia internasional. Begitu juga dengan isi b

Bisakah Indonesia Ikut Piala Dunia 2022?

Euforia Piala Dunia 2010 segera berakhir. Namun tidak untuk tim nasional (timnas) Spanyol empat tahun ke depan sebagai the winner yang berhak membawa trofi piala dunia dan memboyong hadiah lainnya. Kemenangan yang dipetik tim Matador bukanlah sebuah kado cuma-cuma yang dihadiahkan Belanda. Perjuangan yang gigih, tangguh, dan apik adalah kunci untuk memperoleh kesuksesan tersebut. Sebanyak 32 negara mengikuti ajang akbar tersebut. Semua corong negara pun membicarakannya setiap hari selama kompetisi berlangsung, atau bahkan sepanjang masa. Tentu tak ketinggalan Indonesia. Walau hanya sebagai penonton dan komentator, yang tak kalah hebatnya, setidaknya kita (Indonesia_red) merasakan euforia tersebut. Beberapa tahun silam, wacana yang digulirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) adalah Indonesia akan mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia tahun 2022 kelak dengan tema Road to Green World Cup Indonesia 2022. Begitu optimis. Sayangnya, setelah wacana ini singgah di Istana

Surat Cinta, Abad XXI, dan Keterampilan Menulis

Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd Masih adakah gadis remaja kita sekarang yang menerima surat cinta dari kekasihnya seperti Hayati menerima surat cinta Zainuddin dalam roman Tenggelammnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang terkenal itu? Begitu juga dengan surat-surat mahasiswa kepada orang tua di kampung, minta dikirimkan uang segera karena keperluan mendesak, juga tidak ada lagi sekarang. Demikian kalimat pembuka pidato pengukuhan guru besar Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd., yang berjudul ‘Merangkai Kata Membangun Indonesia: Membenahi Pembelajaran Menulis di Sekolah’ di depan sekitar 100 tamu undangan yang hadir di Ruang Serba Guna Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang (UNP), Kamis (24/6) lalu. Hari itu Harret, begitu ia disapa, dikukuhkan langsung oleh Rektor UNP Prof. Dr. Z. Mawardi Effendi, M.Pd., didampingi para guru besar lainnya di selingkungan UNP. Dalam pidatonya, Harret, menyampaikan bahwa tradisi menulis surat atau menulis dalam kerang

Biasakan Berpikir Alternatif

Solusi pemecahan masalah yang hanya melahirkan satu cara, salah satu penyebab semakin suburya perilaku mencontek. Dalam hal ini, membiasakan diri berpikir alternatif menjadi sangat urgen dan cukup menjanjikan. Jika dalam pemecahan suatu masalah mahasiswa telah terbiasa mencarikan dua, tiga, atau empat solusi, jadi takkan ada kata untuk menjiplak ide dari orang lain. Berpikir alternatif, akan membiasakan diri untuk melihat solusi suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Pertimbangan-pertimbangan yang diambil pun biasanya lebih dalam dan beragam. Keterkaitan salah satu unsur dengan unsur yang lain semakin mematangkan mahasiswa dalam cara berpikir dan pengambilan keputusan.

Rusunawa Jangan Dibisniskan

Di tengah mahalnya sewa kos-kosan dan kontrakan, keberadaan asrama mahasiswa dan atau rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang dikelola pihak kampus, sudah seharusnya sebagai penolong bagi mahasiswa yang kurang mampu. Asrama dan atau rusunawa memang harus dikelola dengan baik, mengutamakan rasa kekeluargaan, sosial, sekaligus edukasi. Alhasil, selain memberikan fasilitas hidup yang murah kepada mahasiswa, asrama dan atau rusunawa bisa dijadikan sebagai ‘lembaga’ pendidikan nonformal bagi mahasiswa. Belajar mandiri, berinteraksi, dan berkarya, yang kesemuanya cukup representatif bagi mahasiswa di asrama dan atau rusunawa. Sayangnya, fakta yang bergulir, asrama mahasiswa dan atau rusunawa nyatanya tak jauh berbeda dengan penyedia jasa kos-kosan pada umumnya, yang hanya berorientasi pada uang. Jarang ada asrama mahasiswa yang gratis. Namanya saja asrama. Begitu pula dengan sewa rusunawa, yang kadang cukup mencekik leher. Pola pikir kampus yang kapitalistik segera dikurangi, kalau memang

IPK vs Pengalaman Organisasi

Dunia kerja memang selalu mendahulukan lulusan perguruan tinggi yang memiliki IPK mendekati angka 4 dibanding IPK yang jauh dari angka tersebut. Paradigma ini ditelan bulat-bulat dan mentah-mentah oleh mahasiswa sejak masuk perguruan tinggi hingga keluar perguruan tinggi. Alhasil kerja dan kegiatan mahasiswa pun di kampus hanya kuliah melulu (study oriented) selama 4, 5, atau 6 tahun kemudian. Tak ada waktu berleha-leha mengurusi mahasiswa lain, sosial masyarakat sekitar, atau pun agenda mengkritik kebijakan pemerintahan. Singkatnya tak ada kamusnya berorganisasi. Sesegera mungkin, paradigma ini harus diubah. Sejauh ini berorganisasi dapat melatih mental dalam beropini, berdebat dengan orang lain serta mempunyai gaya bicara yang baik dalam mengahadapi lawan bicara. Mental mereka lebih berani dan tidak canggung untuk kritis dan mengeluarkan pendapat maju di depan pendengar. Mahasiswa tidak hanya pasif dalam mendapatkan ilmu pengetahuan tapi juga berlatih aktif memecahkan masalah sendi

Facebook, Morfin, dan Ke-selamat-an

Fenomena Facebook (selanjutnya disingkat FB) yang kekinian telah menjadi wahana untuk mewujudkan ruang publik terbuka bagi siapa pun, dan dapat digunakan untuk mengemukakan pendapat tanpa sensor. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna untuk selalu stand by, siap berselancar di dunia maya. Secara sporadic, FB telah mengalahkan jejaring sosial lainnya seperti Friendster. Hampir semua pengguna Friendster beralih ke FB dan bertahan di sana hingga detik ini. Pengguna atau member FB kebanyakan adalah anak-anak dan remaja. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 0-18 tahun tergolong usia anak-anak dan umumnya pengguna FB berada pada rentang usia ini. Sedangkan pengguna internet di Indonesia kebanyakan berusia 15 hingga 39 tahun. Dari data Riset antara Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia dan Nielsen (2009), Pengguna internet diperkirakan telah mencapai 25 juta, dengan pertumbuhan rata-rata 25 persen per tahun Hal ini menggambarkan betapa pengguna

Jadi Jurnalis Profesional, Tak (Lagi) Kuli Tinta

Memilah-milah sumber atau ide berita yang menarik, penting, dan bermakna untuk ditulis merupakan suatu hal yang harus diperhatikan oleh seorang jurnalis atau wartawan. Hal ini disampaikan Yurnaldi, Redaktur Harian Kompas, dalam workshop menulis feature, Minggu (4/7) lalu di lokal GL 9 UNP. Seorang wartawan, tambahnya, dituntut untuk jeli bagaimana mengemas berita yang diperlukan dan bermakna bagi masyarakat di tengah persaingan media massa yang begitu ketat. Selain itu, wartawan harus mempunyai manajemen berita, mulai dari perencanaan, peliputan ke lapangan, menyeleksi data, penulisan, dan kemudian evaluasi. “Seorang wartawan harus kaya gagasan,” terang Yurnaldi di depan 40 peserta workshop. Penulis buku best seller Menjadi Wartawan Hebat ini, juga menjelaskan tentang etika-etika yang harus dihormati wartawan sebagai pekerja publik. Seperti kejujuran, independensi, kebal suap, keseimbangan meliput dua sisi (cover both side), serta tetap menghormati undang-undang dan hukum yang berla

Dicari, Perempuan Bercelana Ketat

Otonomi daerah yang diterapkan beberapa tahun silam, memberikan kebebasan kepada daerah-daerah untuk mengurus daerah masing-masing sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan daerah tersebut. Pemerintah daerah (Pemda) berwenang membuat aturan atau regulasi untuk menertibkan dan memajukan daerahnya. Hal ini pula yang mendasari lahirnya peraturan daerah (Perda) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tentang pelarangan memakai celana ketat. Aceh juga dikenal dengan nama daerah Serambi Mekah, yang memang penerapan syariat Islam semakin kental di daerah ini. Penerapan Perda pelarangan memakai celana ketat pun dimulai. Memang tidak disemua daerah di Aceh, lebih dikhususkan pada daerah Kabupaten Aceh Barat, salah satunya kota Meulaboh. Meulaboh menjadi tempat pertama yang memulai mengoperasikan razia pelarangan memakai celana ketat. Puluhan bahkan ratusan perempuan pun terjerat dalam razia ini. Para perempuan yang terjerat razia diinstruksikan langsung mengganti celana mereka dengan rok yang tela