Skip to main content

Pelatihan Nan Mencerahkan

Apa yang terbayang ketika mendengar kata pelatihan, workshop, ataupun training? Sekumpulan orang menenteng map berisi beberapa helai materi, notebook, pena, dan jadwal kegiatan. Tak ketinggalan di leher tergantung kokarde merah, kuning, biru, atau hijau. Saban hari, biasanya, berkutat dengan teori-teori, pendekatan, hipotesis, dan sedikit latihan dalam ruangan ber AC yang melenakan. Setidaknya seperti itu gambaran pelatihan yang kerap dilaksanakan baik oleh badan pemerintahan ataupun badan usaha atau lembaga nonpemerintah.
Sementara itu, sejauh apakah penularan ilmu dari pemateri atau instruktur kepada peserta selama pelatihan berlangsung? Apakah ilmu yang diperoleh dapat diterapkan langsung pada lembaga dimana peserta bekerja? Atau hanya sebagai penyegaran bagi peserta pelatihan? Keefektivitasan pelatihan pun disangsikan.
Pelatihan yang dilaksanakan oleh suatu lembaga, guna meningkatkan keterampilan karyawan serta mutu kerja baik secara personal maupun berkelompok, tak jarang memakan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit. Penyelenggara juga kerap mendatangkan pembicara yang tidak hanya cerdas, luwes, namun juga menghibur (entertainer). Hal ini menjadi poin penting, karena sifat pelatihan biasanya lebih santai, terbuka, dan harusnya tidak membosankan.
Fenomena pada kehidupan nyata, bagi penyelenggara, kebanyakan pelatihan hanya sebagai pelengkap dari program kerja yang telah dicanangkan setahun lalu. Pelatihan juga kerap menjadi ajang seremonial dan rutinitas lembaga, atau menghabiskan anggaran dana yang masih tersisa. Sedangkan bagi peserta sendiri, pelatihan dibatasi hanya sebagai penambah wawasan dalam bidang tertentu. Bahkan ada yang berpendapat, pelatihan hanya sebagai pengisi waktu lowong peserta. Sehingga jangan heran dengan pendapat hampir seluruh pelatihan memberi manfaat perluasan wawasan pada peserta, demikian juga hampir seluruh pelatihan gagal membenamkan kompetensi yang melekat dan terpakai untuk kurun waktu yang lama bagi peserta pelatihan.

Beberapa pendapat baik dari penyelenggara maupun peserta pelatihan, kedua belah pihak terang-terangan menepikan isi atau subtansi pelatihan itu sendiri. Padahal selayaknya konsep pelatihan tidak hanya terfokus menambah wawasan peserta, sebanyak mungkin menerangkan kearifan atau kebijaksanaan, atau perbincangan yang penuh dengan teori-teori. Namun, yang menjadi target utama adalah pemerolehan dan penguasaan keterampilan atau skill peserta yang nantinya bisa diadu setelah keluar dari ruangan pelatihan.
Selain keterampilan, pembelajaran juga menjadi sasaran pokok yang harus dipupuk dalam pelatihan. Dua hal ini tak bisa dengan mudah diabaikan, karena di sinilah letak berhasil atau tidaknya sebuah pelatihan. Poin penting pada pembelajarn dan keterampilan, menjadikan peserta lebih berpeluang dan tidak segan-segan menerapkan ilmu yang didapat di tempat peserta berasal.
Untuk mewujudkan hal ini, sejak semula ditekankan adanya kesepakatan-kesepakatan antara penyelenggara pelatihan dengan peserta pelatihan. Hubungan pelatih dengan siapa yang dilatih harus sesuai dan tidak bertentangan. Penyelenggara pelatihan harus mampu menggabungkan (sinergi) tujuan-tujuan pelatihan pada masing-masing pihak. Hal ini bertujuan untuk menyerentakkan (sinkron) kebutuhan pelatihan dengan proses pembelajaran sebagai bekal peserta untuk diterapkan nantinya. Dengan demikian tidak ada materi yang disampaikan berlebihan atau kurang dari apa yang dibutuhkan peserta pelatihan.
Momok selanjutnya adalah pascapelatihan. Setelah mengikuti pelatihan tidak sedikit pengetahuan yang didapat peserta tertinggal di dalam map atau sudah tak ingat sama sekali. Hasil-hasil pelatihan pun hanya memenuhi memori kepala dan tak teraktualisasi dengan jelas. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan kerja yang tidak mendukung. Dalam kondisi ini evaluasi dari organisasi pun dinantikan. Organisasi sebaiknya jemput bola atau menagih pembelajaran dan keterampilan yang telah didapat peserta sewaktu pelatihan. Alhasil, pelatihan yang diikuti akan memberikan pencerahan, tidak hanya bagi individu tetapi juga organisasi.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg