Skip to main content
Dalam Renungan Kita Berbagi
Oleh Adek Risma Dedees

Pentas itu dipenuhi onggokan-onggokan benda yang beragam ukuran dan bentuk. Ada bulat, persegi, panjang, dan beberapa kardus-kardus bekas meramaikan panggung itu. Kotak yang menyerupai televisi, bertuliskan pascagempa, beberapa batuan beton, sisa-sisa reruntuhan, serta sebaskom air kekuningan bercampur tanah, juga menghiasai Laga-laga Taman Budaya, Padang, Sumatra Barat malam itu.
Tiba-tiba tiga orang memasuki panggung, bertelanjang dada, dan menggiring sesuatu yang bergerak-gerak di dalam karung biru muda yang terikat, tampaknya kuat sekali. Dua lelaki lainnya langsung meninggalkan panggung. Sedangkan yang satu tinggal dan mamatut-matut benda, yang entah apa isinya, itu dengan sangat tenang. Tidak lama karung itu ia tinggalkan dan menuju kotak menyerupai benda yang bisa memuat gambar apapun bergerak secara sempurna. Duduk rapi di dalamnya.
Ayunan musik mulai meramaikan pendengaran penonton. Mungkin, banyak di antara penonton, tidak mengenal jenis musik tersebut sebelum diperdengarkan di panggung itu. Kata pembawa acara, pemain musik berasal dari komunitas seni Belanak di Tunggul Hitam. Sekitar lima belas pemain, dengan kusyuk, membanggakan keahlian mereka di depan penonton malam Kamis (28/10) itu. Sama saja, pemain musik ini juga tidak menutup dada mereka dan seluruh tubuhnya dipenuhi warna tanah hingga wajah aslinya tak dikenal lagi.
Tampilan ini merupakan, performance Art pembukaan ‘Malam Renungan Gempa Sumatra Barat, Barek Samo Dipikua’. Sebuah acara yang diangkat secara spontanitas oleh beberapa budayawan, seniman, mahasiswa, serta relawan yang biasa nongkrong di pusat kegiatan kesenian Sumbar tersebut. Menurut Kepala Taman Budaya Sumbar, Asnan Rasyid, acara ini menghimbau agar masyarakat minang tidak begitu larut dalam kesedihan akibat bencana melanda.
Ketua Dewan Kesenian Sumbar, Dr. Harris Effendi Thahar, pun membenarkan tujuan acara yang bertepatan dengan lahirnya Sumpah Pemuda itu. Merubah orientasi pikiran masyarakat pascagempa, merekonstruksi mental dan spiritual masyarakat yang dulunya giat bekerja, namun setelah gempa hanya mengharap bantuan dari pemerintah dan donator. Padahal, minangkabau terkenal dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Ktabullah (ABS SBK). Sudah seharusnya meninggalkan hal-hal yang berbau ketakutan dan traumatik akibat gempa, hingga manajemen kehidupan kurang terkontrol. Dengan renungan dan doa malam ini, setidaknya dapat menenangkan hati yang risau dan kembali kepada kehidupan normal yang dulu dengan tidak melupakan, apa-apa yang harus diusahakan untuk diperbaiki, rusak akibat gempa akhir bulan lalu.
Barek Samo Dipikua, klausa yang temaktum dalam tema acara adalah suatu musibah yang diharapkan dapat ditanggung bersama-sama, masyarakat minang. “Karena bencana ini bukanlah bencana ringan yang mungkin bisa dijinjing bersama-sama,” kata Harris.
Beragam acara yang dilangsungkan malam itu. Tentunya setiap acara terbungkus dalam kotak yang berlabel seni. Mulai dari penampilan komunitas seni Belanak, pembacaan puisi dari sastrawan dan budayawan, tidak hanya dari Sumbar, namun juga dari ibu kota Jakarta, dan daerah lain, komunitas Rumah Hitam dari Batam, misalnya. Komunitas ini sengaja menggalang dana yang dikhususkan untuk membantu sastrawan dan budayawan Sumbar yang tercatat sebagai korban. Apakah itu saudaranya meninggal, rumah rusak dan terbakar, serta lainnya.
Selain penampilan seni, acara ini juga diramaikan dengan diskusi bersama. Menghadirkan salah satu dosen tersohor di Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Mestika Zed. Membahas pengaruh dan bagaimana mencarikan solusi yang tepat dan efektif bagi masyarakat yang masih dihantui ketakutan dan traumatik akibat bencana gempa. Sayangnya, acara ini disetting terlalu larut, sekitar pukul sepuluh malam, barulah diskusi bersama dimulai. Padahal, pembukaan acara yang berlangsung sekitar pukul 20.00 itu tidak hanya dihadiri budayawan, wartawan, dan mahasiswa, namun juga pelajar. Berat hati, tepat pukul 21.00 bangunan yang masih bertahan dari guncangan gempa 7,9 skala richter itu berangsur sepi. Penonton merangkak menjauhi acara, dan sesi diskusi masih belum sempat dibuka. Andai saja acara spontanitas ini didesain lebih rancak tentu anak muda minang masih menyimak kata-kata professor di depannya itu.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg