Skip to main content

Catatan Kuliah

Adek Risma Dedees

Sstttt…..Diam, Lagi Doa Ni

“Jangan ngota lah fren…”

Demikian ungkapan seorang teman sambil berbisik ketika sedang mengikuti upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei lalu. Ungkapan itu ia sampaikan ketika pak rektor membacakan pidato resmi Hardiknas. Pidato yang dibacakan rektor memang lebih panjang dari pidato lainnya, misal pidato sambutan pembukaan atau peresmian suatu gedung, dan sebagainya. Tak heran jika hal ini cukup membosankan bagi pendengar, apalagi jika mendapat barisan di bagian ketiga, keempat atau justru di belakang.

Penyampaian pidato yang kurang menarik tersebut, bagi mereka, mengundang teman-teman untuk ‘berpidato’ pula di belakang. Apa yang mereka ‘pidatokan’? Beragam. Mulai dari curi-curi pandang pada mahasiswa lain yang tidak hanya beda fakultas tapi juga pada siswa menengah atas yang sejajar barisannya. Sedikit lucu, tapi inilah realnya. Selain itu, memelototi penampilan mahasiswa lain, maklum cewek. Membicarakan hal pribadi, mulai dari anak kucing yang baru lahir tadi subuh sampai pada kasus perceraian selebritis. Ah, terlalu panjang jika harus dibahas dari A sampai Z.

Saking asyiknya mereka ‘mendiskusikan’ petualang yang didapat dari teve, diselingi tawa cekikikan layaknya hantu-hantu gaul seperti yang disinetron. Sampai-sampai lupa bahwa mereka sedang mengikuti upacara Hardiknas dan di depan sana adalah pimpinan kampus mereka yang sedang kepanasan membacakan pidato. Sekilas miris sih menyaksikan tingkah mereka yang jauh dari etika pendidikan. Namun, sekali lagi ini realnya di lapangan.

Meskipun demikian, ketika akhir penutupan acara, sewaktu membacakan doa, tiba-tiba suasana hening. Hening seperti berada di kuburan. Tak ada suara-suara sumbang di belakang. Tak ada tawa cekikikan kuntilanak. Tak ada yang melirik kiri kanan sambil senyam-senyum. Ajaib. Namun, sebenarnya wajar saja.

Kenapa wajar? Karena memang begitu adabnya. Mulai dari sekolah dasar sampai perkuliahan ini, memang harus demikian. Mungkin kurang tepat kalau ‘harus demikian’ tapi budaya yang memperkenalkan, kalau sedang berdoa itu harus diam. Kalau tidak diam, pendapat sebagian teman-teman, terkesan tidak menghormati Tuhan YME. Kalau sudah tidak menghormati Tuhan YME, maka tunggulah kutukan dan kekualatan menimpa diri dalam waktu dekat, tambahan pendapat teman yang suka cekikikan. Sedangkan yang lain mengomentari, doa adalah sesuatu yang sakral, jadi harus serius, kalau bercanda, sempat dilirik pak rektor batal dapat beasiswa. “Ingat itu,” tegasnya. Apa hubungannya? Gak nyambung dong. Kalimat yang tidak sinkron antara sebab dan akibat.

Tidak tahu pendapat mana yang mendekati kebenaran, benar, ataupun melenceng. Namun yang jelas budaya diam sewaktu berdoa selalu mewarnai di setiap upacara-upacara bendera. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan ketika pembina upacara menyampaikan sambutan atau amanatnya. Bertolakbelakang, konyol, ajaib yang sering dijumpai, kurang pantas, namun asoy. Demikian simpulan kami.

Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg